SAMARINDA, Swarakaltim.com – Belakangan ini, sedang ramai diperbincangkan sebuah kabar terjadinya pencopotan gelar beberapa guru besar beserta penurunan akreditasi terhadap salah satu perguruan tinggi di Kalimantan Selatan akibat adanya dugaan kecurangan akademik. Kecurangan akademik sendiri telah menjadi masalah kompleks yang memprihatinkan di Indonesia, hal ini didasari karena kecurangan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja dari berbagai kalangan dan lapisan sosial seolah telah membudaya dan mengakar di dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi di Indonesia.
Fenomena kecurangan akademik pada mulanya sering kali diidentikkan dengan tindakan mahasiswa yang melakukan plagiasi, menyontek, atau memanipulasi data dalam tugas dan karya ilmiahnya. Padahal, kecurangan akademik dapat dilakukan oleh seluruh sivitas akademika, tak terkecuali oleh dosen. Kecurangan yang dilakukan oleh dosen, tak kalah memprihatinkan atau dengan kata lain, jauh lebih berbahaya dibanding kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa. Bentuk kecurangan yang terjadi ini dapat berupa plagiasi karya ilmiah, manipulasi hasil penelitian, praktik perjokian, pelanggaran-pelanggaran secara administratif, serta penyalahgunaan wewenang dalam promosi jabatan akademik.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pendidikan Tinggi berasaskan pada kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinnekaan, dan keterjangkauan. Sayangnya, realita yang terjadi tak sejalan dengan konsep ideal yang diharapkan. Kecurangan akademik yang marak terjadi jelas bertentangan dengan asas-asas pendidikan tinggi yang termuat dalam pasal tersebut.
Ketika dosen sebagai aktor utama dalam dunia akademik yang seharusnya menjadi penjaga integritas pendidikan terlibat dalam tindak kecurangan, tentu tak hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan, tetapi juga menghancurkan pondasi moral dan intelektual yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para pelaku akademik.
Pendidikan, yang seharusnya berfungsi sebagai pilar peradaban dan pembentuk generasi masa depan, terancam kehilangan arah ketika para pendidik justru mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan profesionalisme. Standar kualitas pendidikan akan merosot tajam, karena penghargaan tidak lagi diberikan kepada siapa yang berhak, tetapi kepada siapa yang mampu memanipulasi sistem. Lebih lanjut, masalah ini akan menciptakan efek domino yang juga akan berimbas pada lulusan perguruan tinggi yang tidak kompeten, yang pada akhirnya akan melemahkan daya saing bangsa, serta mencoreng reputasi akademik Indonesia di tingkat internasional.
Terdapat beberapa alasan yang melandasi terjadinya kecurangan akademik, seperti tingginya target pemenuhan publikasi ilmiah guna meningkatkan jenjang karir menjadi guru besar atau demi tetap dibayarnya tunjangan profesi dosen/guru besar. Pada akhirnya, yang terjadi adalah persaingan untuk menghasilkan publikasi sebanyak-banyainya, tanpa memperhatikan kualitas dan etika akademik. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Ketua Umum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro pada 2023 lalu, yang menyatakan bahwa “Indonesia berada di posisi nomor dua di dunia sebagai negara yang publikasi ilmiahnya masuk di jurnal ilmiah abal-abal alias predator.”
Demi memenuhi target publikasi, tak jarang dosen senior mengalihtugaskan kewajibannya kepada dosen muda atau mahasiswa untuk melakukan riset yang sedang didalaminya, dimana hal ini akan mempercepat proses penelitian yang akan berguna untuk meningkatkan kredit dosen senior guna memenuhi syarat kenaikan pangkat atau pencalonan guru besar. Di sisi lain, perguruan tinggi juga memperoleh keuntungan dengan bertambahnya jumlah profesor yang lahir dari kecurangan akademk ini.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pendidilan Tinggi Kemendikbudristek tahun 2023, terdapat sebanyak 4.862 nama dari 7.598 nama yang dicalonkan menjadi guru besar ditolak oleh pemerintah karena terindikasi tidak berkualitas, relevansi kelilmuan yang tidak cocok, atau terdapat pelanggaran etika dan akademik.
Terlepas dari tuntutan target pekerjaan dan posisi jabatan yang menjadi salah satu faktor dari maraknya kecurangan akademik, pelanggaran etika tidak akan terjadi jika sivitas akademika tunduk pada aturan dan kode etik profesi. Berbagai kasus yang terjadi hanya semakin membuat terang bahwa telah terjadi persoalan moralitas dan integritas pada para pelaku akademik di perguruan tinggi.
Etika profesi dosen bukan sekadar aturan tertulis yang harus diikuti, tetapi merupakan inti dari tanggung jawab moral seorang akademisi. Sebagai pendidik, dosen memiliki tanggung jawab yang sangat besar, tidak hanya menyelenggarakan pendidikan dan penelitian, tapi juga pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi.
Pelanggaran etika oleh dosen, seperti kecurangan akademik, bukan hanya melanggar norma-norma profesional, tetapi juga merusak hubungan kepercayaan mahasiswa bahkan masyarakat terhadap akademisi. Dosen yang curang telah mengkhianati peran penting mereka sebagai pemandu moral dalam proses pendidikan. Kode etik dosen harus ditegakkan secara ketat dan konsisten, karena ini adalah benteng terakhir dalam menjaga martabat dunia akademik.
Namun, perlu diingat kembali bahwa pelanggaran etika akademik yang terjadi saat ini, timbul sebagai akibat dari sistem yang memaksa mereka untuk memanipulasi hasil publikasi. Sistem yang ada saat ini memaksa akademisi untuk mengejar jumlah publikasi dan mengesampingkan kualitas dari publikasi itu sendiri.
Untuk menyelesaikan permasalahan kompleks ini, dibutuhkan peran dari berbagai stakeholder. Perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan kementerian terkait perlu segera menyusun pedoman integritas akademik, menetapkan skema sanksi yang tegas, serta mengubah pandangan yang memprioritaskan kuantitas publikasi akademik sebagai dasar dari penilaian.
Setiap bentuk kecurangan atau pelanggaran akademik harus dikenai sanksi secara sistematis maupun oleh komunitas akademik, bukan dibiarkan menjadi rahasia umum, sehingga dapat menimbulkan efek jera dan mendorong introspeksi di kalangan komunitas akademik lainnya.(sk)
Profile Penulis
Nama : Mumtaz Azzahra
Status : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Medsos : @mumtazazhr (instagram)