Melawan “Lupa”, Menggusur untuk Kebaikan

“2012 PKL di Niaga Selatan, 2016 SKM Segmen S Parman, Kini Giliran Segmen Segiri”

SAMARINDA, Swarakaltim.com – SEANDAINYA Pemkot Samarinda tidak bersikeras, mungkin masih melihat kumuhnya Jl Niaga Selatan dengan pedagang elektronik berjualan di badan jalan, kini menjadi taman median sekaligus menghilangkan kemacetan.

Kini kekumuhan juga tak terlihat lagi di bantaran SKM samping PKK Jl S Parman, berubah sebagai ruang terbuka hijau dan arena jogging sekaligus mewujudkan program normalisasi.

“Seandainya Pemkot tidak bersikeras melakukan program tersebut, maka tidak akan terwujud program menghilangkan kekumuhan dan kemacetan sekaligus kegiatan jual beli di badan jalan yang sekarang menjadi taman median. Begitu juga bantaran SKM, kini jadi ruang terbuka hijau sekaligus program normalisasi,” ucap Sekretaris Daerah (Sekda) kota Samarinda Sugeng Chairuddin.

Seperti kita ketahui, relokasi pedagang elektronik di median jalan Niaga Selatan yang sekarang bernama Jalan HA Waris Husein ini bukanlah gawe ringan, tapi bisa terealisasi dimana sekarang pedagang berjualan di komplek GOR Segiri.

Prosesnya pun berawal di tahun 2011 untuk melakukan upaya persuasif hingga terwujud pertengahan 2012.

Relokasi sebanyak 248 petak ini tentunya jika dikalkulasikan 1 petak terdiri 4 jiwa, maka ada 1.000 jiwa lebih yang harus dipikirkan nasibnya oleh Pemkot, sehingga proses pemindahan tidak dilakukan secara paksaan, malah tumbuh kesadaran dari PKL sendiri dengan membongkar sendiri.

Sebelumnya, selama belasan tahun akses jalan Niaga Selatan terkenal sebagai jalur rawan macet, terutama saat jam sibuk. Disinyalir kuat, aktivitas jual beli di badan jalan itu menjadi penyebab utamanya.

Kemudian, upaya penertiban terhadap aset pemerintah kembali berlanjut. Kali ini di tahun 2016 melakukan penggusuran di pemukiman kumuh bantaran SKM Jl S Parman samping sekretariat PKK untuk mendukung program normalisasi SKM dan menambah ruang terbuka hijau.

Prosesnya pun tidak gampang menggusur 130 rumah dan akhirnya mereka pun mau dibongkar tanpa ada ganti rugi berupa rumah.

“Waktu itu kita diprotes orang, dibilang tidak manusiawi, melanggar HAM, menghilangkan kesempatan berusaha, dan lain sebagainya.
Tapi kita tetap maju. Dan hasilnya kekumuhan berkurang. Apalagi sekarang sekaligus pengendalian banjir,” ucap Sugeng yang juga ketua Tim Terpadu Penertiban SKM.

Menurut Sugeng untuk mendukung program ini harus melawan lupa. “Di daerah ini (Segmen S Parman dan Niaga Selatan) jua banyak suka dukanya. Kenapa di sana bisa, di pasar Segiri tidak bisa. Mereka di Segiri katanya mendukung, tapi ada syaratnya. Syaratnya siap dibongkar tapi minta relokasi atau penggantian rumah. Bukan mendukung kalau syaratnya melanggar aturan,” kata Sugeng lagi.

Apalagi lanjut Sugeng yang pernah menjabat Sekretaris Kelurahan Sidodadi tahun 1991 dan menjadi Lurahnya di tahun 1993 yang mana dulu sering terjadi interaksi dengan warga yang mau ditertibkan ini.

“Jujur, banyak cerita kami di sini. Begitu juga warga. Tapi untuk kebaikan semua dan apalagi sudah puluhan tahun menetap di tanah Pemkot, mari kita dukung program untuk pengendalian banjir di kota Samarinda ini,” imbuh Sugeng.

Tapi ini harus menunggu sampai kapan, sehingga Samarinda tetap kumuh dan program pengendalian banjir tidak terlaksana jika warga masih bersikeras tidak mau pindah.

“Sampai saat ini sudah ada 97 yang menyetor rekening dan siap dibongkar. Jadi tersisa 113 lagi dari total 210 bangunan,” tutur Sugeng.

Sugeng masih berharap akan bertambah lagi kesadaran warga lainnya mendukung program ini dengan bersedia pindah sesuai aturan berupa pemberian uang kerohiman bukan relokasi.

Tentunya apa yang dilakukan Pemkot Samarinda yang menentang nurani, solidaritas kemanusian, semata-mata demi kebaikan, menghilangkan kekumuhan merealisasikan program normalisasi dengan berpijak pada regulasi.(don/kmf-smd)

Loading

Bagikan: