Penulis : Andi Karina Rusyandi & Anisa
Swarakaltim.com – Indonesia merupakan negara kepulauan yang dimana terdapat 5 pulau yang terbesar yaitu Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua. Terdiri dari 38 Provinsi yang dimana didalamnya terdapat 300 kelompok etnis, dan 1.340 suku bangsa berdasarkan data sensus BPS.
Fakta tersebut membuat Indonesia tidak terlepas dari masyarakat multikulturalisme yang memiliki keragaman struktur budaya, etnis, ras tetapi dapat hidup berdampingan dalam satu lingkungan. Multikulturalisme adalah cermin dari Bhineka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Di Dalam konsep multikulturalisme terdapat banyak sekali keragaman budaya, pada kesempatan kali ini, penulis akan menyoroti keragaman budaya terkhususnya terhadap marga yang ada di Indonesia. Tentunya kita semua sudah tidak asing dengan marga yang merupakan suatu bentuk identitas yang menyatakan seseorang untuk menunjukkan asal-usul keluarga dan biasanya diletakkan di belakang nama diri. Marga memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing, marga tidak berjumlah 1 atau 2 saja, tetapi banyak sekali nama marga yang ada khususnya di suku batak dan suku bugis. Sebagai contoh Bobby Nasution dan Yakub Hasibuan, sebagai nama yang menggunakan marga Batak, sedangkan Andi Alwi dan Daeng Mangkona sebagai contoh nama yang menggunakan marga suku bugis. Sangat menarik bukan? mari kita ulik lebih lanjut terkait marga di dalam kedua suku ini.
- Marga Suku Batak
Suku Batak merupakan salah satu suku yang terbesar di Sumatera Utara yang terdiri dari Batak Simalungun, Batak Angkola, Batak Karo, Batak Toba dan Batak Pakpak. Sebagian besar masyarakat etnis Sumatera Utara menggunakan nama marga sebagai identitas pengenalan pada seseorang yang didapatkan dari garis keturunan dari ayah, dalam bahasa Batak disebut Tarombo (silsilah).
Suku Batak yang dikenal sangat memegang prinsip yang bertujuan untuk mempertahankan pelestarian pada Suku Batak. Hal ini bisa dilihat dari Film Ngeri-ngeri Sedap yang dirilis pada tahun 2022 yang mengangkat tentang keluarga Batak yang kental akan adat istiadat.
Dimulai dari ketiga saudara sama-sama meninggalkan kampung atau merantau yang merupakan salah satu tradisi yang ada di suku Batak. Laki-laki diharuskan untuk meninggalkan kampungnya dan belajar hidup mandiri ditempat yang baru. Bahkan dahulu mereka tidak diperbolehkan untuk pulang sebelum menjadi sukses.
Ketiga saudara laki-laki tersebut menginginkan hidup sesuai apa yang mereka inginkan. Mulai dari anak pertama dengan keinginan menikah dengan suku diluar Batak, anak ketiga yang ingin mempertahankan statusnya sebagai pelawak, dan anak keempat yang ingin merawat bapak pengasuh selama ia menjadi mahasiswa KKN karena tinggal seorang diri.
Dalam suku Batak menyarankan untuk menikah dengan sesama suku untuk tujuan mempertahankan adat istiadat. Namun bagaimana jika menikah dengan suku selain Batak?
Adat istiadat pada masyarakat Suku Batak yang masih ditemukan hingga saat ini salah satunya adalah perkawinan. Dalam perkawinan Suku Batak terdapat sistem yang dimana perkawinan yang dilakukan di luar marganya sendiri atau menganut sistem eksogami dengan dasar boleh melakukan perkawinan di luar marga. Eksogami adalah perkawinan yang dimana kedua mempelai tidak berasal dari marga yang sama.
Sebagai contoh salah satu pernikahan yang viral di tahun 2023 ialah pernikahan Yakub Hasibuan dan Jessica Mila yang bukan berasal dari Suku Batak. Jessica Mila pun sebelum melangsungkan pernikahan, ia mengikuti beberapa proses untuk mendapatkan marga karena hal itu merupakan salah satu syarat untuk menikah dengan suku Batak.
Proses pemberian marga yang dilakukan Jessica Mila ialah tradisi Mangain. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun yang dilakukan untuk mengangkat anak dan memberikan marga. Proses ini membutuhkan waktu selama satu hingga 2 minggu sebelum acara pernikahan pada Suku Batak.
Adapun proses dalam Tradisi Mangain ialah menyiapkan dana yang besar. Dana tersebut akan digunakan dari sebelum pernikahan hingga berlangsungnya pernikahan. Pada saat berlangsungnya acara Tradisi Mangain, pihak yang bukan berasal dari Suku Batak mengeluarkan dana yang besar, mulai dari Sinamot (mahar), pesta pernikahan dan yang lainnya.
Dalam Tradisi Mangain terdapat dua pembagian, yang pertama ialah mengangkat anak laki- laki yang bukan berasal dari Suku Batak yang dinamakan Mangain anak sedangkan mengangkat anak perempuan yang bukan berasal dari Suku Batak adalah Mangain Boru.
Proses yang lain dalam Tradisi Mangain adalah harus mencari orang tua angkat, yang dimana jika pihak wanita yang melakukan Mangain maka ia mencari marga yang sama dengan marga ibu calon suaminya, atau bisa juga dengan saudara laki-laki dari ibu calon mertuanya (Tulang).
Jessica Mila setelah mengikuti proses dalam Tradisi Mangain yang dimana ia mendapatkan Boru Batak atau Marga Batak Damanik. Marga Damanik ia dapatkan dari marga ibu Yakub Hasibuan yaitu Morwati Damanik.
- Marga dan gelar Suku Bugis
Suku Bugis merupakan kelompok etnik yang berasal dari Sulawesi Selatan, kata “bugis” sendiri berasal dari kata “tau ogi” yang berarti orang Bugis. Dahulu, di dalam kehidupan suku Bugis terdapat kasta-kasta yang menggolongkan tingkatan, namun sekarang sudah tidak lagi digunakan, beberapa kasta tersebut yaitu :
- Arung (bangsawan kasta tertinggi)
- Ata (budak) : sekarang sudah tidak berlaku
- To Maradeka (masyarakat umum)
Suku Bugis memiliki marga yang terletak di awal nama, dan terdapat beberapa kategori nama gelar suku bugis yaitu berdasarkan garis keturunan, seperti : Andi, Petta, Datu, Bau, Daeng, Karaeng, Kare, Puang, Arung, Baso, Opu, Sombaya, Besse dan Tenri. Marga-marga ini memiliki ketentuan tersendiri di dalam penggunaannya dan juga memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri dan dapat mencerminkan status sosial. Marga tersebutlah yang menjadi identitas- identitas dari suku Bugis. Namun, tidak semua orang bersuku Bugis memiliki marga, hanya orang-orang tertentu yang memilikinya yang dapat dilihat dari garis keturunan atau silsilah keluarga.
Marga Bugis juga berkaitan dengan aturan-aturan tentang pernikahan dan kekerabatan. Tak jarang orang yang memiliki marga dilarang untuk menikah dengan orang yang tidak memiliki marga dikarenakan perbedaan status sosial. Suku Bugis pun terkenal dengan tradisi “uang panai”, yang dimana besaran mahar yang diberikan kepada wanita bugis ditetapkan berdasarkan nama gelar, pendidikan, sosial ekonomi, pekerjaan, dan paras. Hal ini tentunya membentuk stigma masyarakat bahwa semua wanita yang bersuku Bugis memiliki mahar yang cukup tinggi, tidak heran juga banyak yang menghindari untuk menikah dengan wanita bugis yang memiliki marga dan berpendidikan tinggi. Hal ini bahkan pernah dibahas pada suatu film berjudul uang panai’ pada tahun 2016.
Namun seiring berjalannya waktu, nama gelar dan marga ini mulai berkurang keasliannya, banyak masyarakat yang menggunakan marga ini sebagai nama mereka tetapi mereka tidak termasuk di dalam silsilah darah bangsawan. Jadi, sekarang marga-marga ini bisa dibilang sekedar “ohh,, nama orang bugis yang uang panainya mahal”.
- Persamaan dan Perbedaan Marga Batak dan Bugis
Kedua marga ini memiliki persamaan dalam kegunaan marga yaitu menentukan besarnya pengeluaran biaya jika ingin melaksanakan prosesi pernikahan, dikarenakan kedua suku ini memiliki adat yang masih kental tentang pemargaan dan status sosial sebagai bentuk
penghormatan. Walaupun memiliki fungsi yang sama, tetapi kedua suku ini memiliki ketentuan yang berbeda untuk pemargaannya, seperti pada suku bugis pemberian marga tidak untuk semua orang, namun hanya untuk keturunan bangsawan. Dalam marga bugis diberikan sejak lahir, jadi jika terlahir tidak punya marga, maka selamanya akan tidak punya marga. Berbeda dengan suku Batak yang dimana semua keturunan batak akan mendapatkan marga. Namun, jika ada suku diluar Batak ingin menikah dengan suku Batak ia bisa mendapatkan marga dengan melewati proses sebelum pernikahan. Dalam peletakan marga suku bugis dan suku batak pun berbeda, jika suku Bugis berada di depan nama, batak berada di sebaliknya yaitu dibelakang nama. Kedua suku ini dikenal sebagai suku yang masih kental dengan budaya dan adatnya, jadi sampai sekarang pun marga ini masih sering ditemukan.
Persamaan dan perbedaan ini menjadi bukti bahwa multikulturalisme itu ada, sama-sama memiliki marga tetapi terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan itu tidak menghalangi persatuan masyarakat multikultural di Indonesia. Hal inilah yang menjadi perantara untuk menghargai satu sama lain dan mengesampingkan sebuah perbedaan.(*/dho)