Sumber Gambar : Pinterest.com/Gelo Baay
SAMARINDA, Swarakaltim.com – Julukan Zamrud Khatulistiwa yang disematkan pada Indonesia adalah sebuah pujian akan kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah. Salah satu kekayaan alam Indonesia yang paling memukau adalah ketersediaan pangannya yang meliputi sektor perikanan, pertanian dan perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari angka yang dihasilkan dari ekspor komoditas-komoditas dari ketiga sektor tersebut, seperti komoditas udang yang para rentang waktu Januari hingga April 2023 mencapai 567 juta dollar AS, Kopi dengan segala macam variasinya menghasilkan 1,15 miliar dollar AS pada tahun 2022, Karet dengan produk-produknya memberikan nilai yang cukup siginifikan mencapai sebesar 7,1 miliar dollar AS pada tahun 2021, kemudian ada minyak sawit yang yang memberikan sumbangan devisa ekspor dengan nilai yang fantastis mecapai hingga 22,9 miliar pada tahun 2020. Komoditas-komoditas ini menjadi incaran dari banyak negara seperti Jepang, Hong kong, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Filipina dan Arab Saudi dengan target pasar yang berbeda akan komoditas tersebut, Meski begitu, kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat negara-negara importir pangan Indonesia justru tidak bisa dirasakan oleh masyarakat dari Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, masyarakat masih sulit untuk mendapatkan akses pangan yang cukup.
Ketidakcukupan pangan
Nilai yang diperoleh dari ekspor komoditas pangan tersebut dari berbagai negara importir sudah cukup untuk membuktikan kekayaan Indonesia akan pangan. Namun dibalik kekayaannya yang melimpah itu, rakyat Indonesia justru banyak yang belum bisa mencukupi kebutuhan pangan tersebut dapa dilihat dari banyaknya masyarakat Indonesia yang menderita gizi buruk dan bahkan mengalami stunting. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2022 Indonesia memiliki angka stunting mencapai 21.6. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakcukupan pangan yang dialami oleh banyak keluarga dari berbagai daerah. Ketidakcukupan pangan disebabkan oleh ketidakmampuan individu atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan pangan, yang mana hal ini berakar dari kemiskinan dan minimnya edukasi masyarakat akan kebutuhan gizi.
Faktor pendidikan berupa wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi dalam makanan memiliki peran yang penting. Masyarakat Indonesia masih memiliki tingkat literasi yang minim terkait varian gizi dan manfaat-manfaatnya yang berbeda. World’s Most Literate Nation menempatkan Indonesia pada posisi kedua terbawah dari 61 negara yang terdaftar di peringkat literasi gizi internasional, yaitu posisi ke-60.
Selain faktor pendidikan, faktor ekonomi berupa rendahnya daya beli masyarakat terhadap pangan menjadi faktor terpenting dari adanya ketidakcukupan pangan. Kemiskinan dan ketidakcukupan pangan bersifat coexist (saling ada), salah satu dari keduanya tidak akan muncul tanpa keberadaan dari keduanya. Masyarakat dengan pendapatan menengah kebawah tidak akan memiliki akses yang sama terhadap pangan seperti akses masyarakat dengan ekonomi menengah dan menengah keatas. Wawasan dan pengetahuan akan kebutuhan gizi dan pangan juga diperoleh melalui berbagai macam media seperti sekolah dan internet, yang mana uang dibutuhkan untuk dapat mengakses keduanya atau salah satunya.
Kolaborasi berbagai elemen
Permasalahan akses pangan harus mendapat perhatian penuh dari pemerintah Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah harus dapat merancang strategi-strategi untuk menyelesaikan akar permasalahan ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses pangan, yaitu dengan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Namun, program dan strategi yang dijalankan pemerintah tidak akan bisa berjalan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak lain, yaitu swasta dan masyarakat.
Digandengnya pihak swasta oleh pemerintah dapat memunculkan berbagai macam investasi yang dapat mengubah nasib daerah dan masyarakat, entah itu dari segi kemajuan infrastruktur, manfaat produk yang dihasilkan ataupun lapangan pekerjaan yang terbuka untuk masyarakat. Lapangan pekerjaan yang terbuka untuk masyarakat akan menstabilkan perekonomian banyak keluarga. Dengan perekonomian yang stabil masyarakat akan lebih mudah mendapatkan akses terhadap pangan, maupun informasi seputar pangan.
Selain menjalankan program-program untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, pemerintah juga bisa menjalankan program-program edukasi seperti seminar ataupun penggunaaan iklan layanan masyarakat seputar edukasi pangan yang dipublikasi atau disiarkan melalui berbagai macam media konvensional atau digital. Dengan demikian masalah literasi gizi masyarakat pun akan berkurang.(*/sk)
Penulis : Michael Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa fakultas ilmu sosial dan politik dari jurusan Ilmu Komunikasi