Oleh: I Kadek Sudiarsana
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman
SAMARINDA, Swarakaltim.com – Jagat maya kembali dihebohkan dengan kasus diduga berkaitan penganiayaan dan pemerkosaan yang mengakibatkan kematian terjadi di salah satu daerah Kuburan Cina, Palembang, Sumatera Selatan. Institut Criminal for Justice Reform (ICJR) dalam siaran pers nya dan juga liputan TribunSumsel menyebutkan bahwa seorang anak berusia (16) enam belas tahun (IS) dituntut pidana mati oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Palembang. Anak yang berkonflik dengan hukum, IS, diadili bersama tiga kawannya berusia anak yang dituntut hukuman penjara diantaranya 10 tahun dan 5 tahun. Keempat anak tersebut dikategorikan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Andi Hamzah dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia menerangkan bahwa pidana merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan hukum pidana, pidana adalah hukum pidana itu sendiri. Dari pengertian tersebut, jika disederhanakan, sanksi pidana adalah sanksi yang sengaja diberikan kepada seseorang yang melanggar hukum, termasuk dalam hal ini Anak yang berkonflik dengan hukum.
Kendatipun kemudian, Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo telah menjatuhkan putusan terhadap diduga pelaku utama yakni IS sebagaimana dikutip metro.tempo bahwa IS terbukti bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 Ayat 5 Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP dalam persidangan yang dilakukan secara tertutup yakni menjatuhkan hukuman kepada IS 10 tahun penjara dan satu tahun mengikuti pelatihan di Dinas Sosial Kota Palembang.
Tindakan yang dilakukan terduga pelaku dalam hal ini penganiayaan dan pemerkosaan hingga menyebabkan kematian, pastinya menimbulkan reaksi geram di masyarakat. Pasalnya korban seorang anak perempuan diduga dirudapaksa hingga menghembuskan nafas terakhirnya dan ditemukan tewas di TPU dan dengan pelakunya juga tergolong anak. Miris sebetulnya, dewasa ini kerap muncul kasus-kasus yang cukup keji bahkan sampai menimbulkan kematian dilakukan oleh oknum anak. Menjadi pekerjaan rumah segenap pihak, tidak hanya pemerintah melainkan juga lingkungan tokoh maupun masyarakat, dan terpenting adalah keluarga dalam upaya pencegahan anak anak tidak melakukan tindakan kriminal. Menarik dalam perjalanan persidangan kasus ini, dimana kemudian JPU menuntut terdakwa dengan tuntutan pidana mati, walaupun kemudian majelis hakim memeriksa perkara menjatuhkan pidana penjara waktu tertentu.
Kebijakan Pidana Mati
Kebijakan pidana mati yang berlaku saat ini di Indonesia yakni memasukkan pidana mati sebagai bagian dari pidana pokok. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 huruf a KUHP selain pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan. Sedangkan, ius constituendum dalam KUHP baru sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (UU 1 Tahun 2023) bahwa pidana terdiri atas pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana bersifat khusus. Dalam konteks pidana mati, Indonesia telah mengambil kebijakan jalan tengah atau dikenal dengan istilah “win-win solution” yang telah diakomodir melalui KUHP baru/UU 1 Tahun 2023.
Kebijakan ini diambil sebagai respons atas situasi dan kondisi Indonesia sendiri, juga menjawab pertentangan antara kaum abolisionis dan kaum pretensionis yang pro maupun kontra atas penerapan pidana mati Indonesia. Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU 1 Tahun 2023 merinci bahwa pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Pidana pokok yang baru tersbeut tidak meletakkan pidana mati sebagai bagian darinya, melainkan ketentuan pidana mati diatur dalam ketentuan Pasal 67 UU 1 Tahun 2023 bahwa pidana yang bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
Adapun lebih lanjut dalam Bagian Penjelasan Pasal 67 UU UU 1 Tahun 2023 menerangkan bahwa pidana mati yang merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu dialtematilkan dengan penjara seurnur hidup atau paling lama 2O (dua puluh) tahun. Lebih lanjut bahwa tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat khusus ini adalah tindak pidana yang sangat serius atau yang luar biasa. Tindak pidana yang dimaksud, antara lain, tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.
Pertanggungjawaban Pidana Anak
Dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA) Pasal 1 angka 1 UU SPPA dikenal dengan sebutan “Anak yang Berhadapan dengan Hukum/Children Clonflict with Law” atau ABH. Anak berhadapan dengan hukum tediri dari 3 (tiga) klasifikasi yakni, (a) Anak Berkonflik dengan hukum bahwa anak yang diduga melakukan kejahatan/tindak pidana, (b) Anak sebagai Saksi yakni anak yang menjadi saksi, dan (c) Anak korban tindak pidana yakni anak yang menjadi korban dari suatu tindak pidana. Prinsipnya dalam konteks SPPA, memang tidak dikenal istilah pidana mati, sebab dalam UU SPPA dalam ketentuan pidana yang ada yakni Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun pidana pokok yaitu pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Pun demikian, penjara terhadap Anak merupakan upaya terakhir (Pasal 81 ayat (5)). Sedangkan pidana tambahan terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat. Namun demikian, terdapat klausul sebagaimana termaktub dalam Pasal 81 ayat (6) UU SPPA bahwa “Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun”. Hal ini sebagaimana terjadi dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Palembang.
Sistem peradilan pidana anak pada prinsipnya mengedepankan konsep kepentingan terbaik bagi anak. Bahkan dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum dijatuhi pidana kumulatif, misalnya dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Pun termasuk pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
Harapannya dalam penanganan kasus ini, dengan pelaku maupun korban adalah anak dapat diselesaikan dengan kepentingan terbaik anak. Pelaku agar dapat mempertanggungjawabkan kejahatannya dalam hal ini menjalani pemidanaan dengan baik sesuai dengan tujuan pembinaan Anak, yakni menyadari kesalahan dan tidak mengulangi kembali. Sisi lain, lebih dari itu adalah upaya pemulihan terhadap korban apalagi anak korban telah meninggal, sehingga harusnya upaya pemulihan juga diperhatikan kepada keluarga korban. Kendatipun, pemulihan apapun yang dilakukan pelaku/keluarga pelaku tidak dapat mengembalikan keadaan seperti semua, sebab korban telah meninggal dunia. Namun sedikitnya, upaya pemulihan yang diharapkan dapat meringankan beban dan duka lara yang dialami keluarga korban. Restitusi atau ganti kerugian dalam hal ini diperlukan agar kerugian materiil maupun imateriil sedikitnya memberikan perhatian bahwa hukum pidana tidak semata-mata berupaya untuk pembalasan, akan tetapi lebih utama dan jauh daripada itu adalah pemulihan keadaan utamanya perhatian kepada korban/keluarga korban. Tidak hanya itu, fenomena yang terjadi di Palembang ini agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat, utamanya pendidikan moral bagi anak agar tidak berbuat kriminal.(*/sk)