Sambah-Manyambah di Era Modern: Antara Tradisi dan Adaptasi

Mutia Fadillah, Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas Padang

SAMBAH – Di tengah modernisasi yang mengubah cara hidup masyarakat, Sambah-Manyambah menghadapi tantangan baru. Banyak yang menilai tradisi ini terlalu panjang, terlalu formal, dan sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun di balik pandangan itu, Sambah-Manyambah menyimpan nilai-nilai sosial yang justru semakin dibutuhkan di era serba cepat dan individualistik ini.

Generasi muda Minangkabau kini lebih terbiasa dengan komunikasi digital, pesan singkat, emoji, atau panggilan video yang serba praktis. Dalam konteks ini, nilai-nilai seperti kesabaran, tutur kata yang halus, dan penghormatan sering kali terpinggirkan. Padahal inti dari Sambah-Manyambah bukan pada bentuk seremonialnya, tetapi pada sikap yang dikandungnya, menghormati orang lain dengan tutur yang santun dan penuh empati.

Beberapa tokoh adat mulai melakukan inovasi untuk menjaga tradisi ini tetap hidup. Misalnya, pidato adat yang biasanya panjang kini disederhanakan tanpa menghilangkan nilai simbolisnya. Sekolah-sekolah di Sumatera Barat juga mulai mengenalkan Sambah-Manyambah dalam kegiatan ekstrakurikuler, bukan hanya sebagai seni berpidato, tetapi juga sebagai pendidikan karakter.

Dalam konteks sosial yang lebih luas, tradisi ini bisa diadaptasi menjadi etika komunikasi modern. Misalnya, konsep “manyambah” bisa diterjemahkan sebagai kesopanan dalam berbicara di ruang publik, di media sosial, dan dalam pertemuan formal. Prinsipnya sama, menjaga diri, menghargai lawan bicara, dan berbicara dengan hati yang lapang.

Filosofi

Sambah-Manyambah juga dapat menjadi panduan bagi diplomasi budaya. Dalam setiap forum atau pertemuan antarbudaya, kemampuan untuk berbicara dengan hormat, menggunakan bahasa simbolik, dan menunjukkan kesantunan adalah nilai universal yang berasal dari akar adat ini.

Dengan demikian, Sambah-Manyambah bukan tradisi yang harus ditinggalkan, melainkan diwariskan dengan cara baru. Ia dapat hidup kembali di ruang modern, asalkan esensi penghormatan dan kesopanannya tetap dijaga.

Seperti pepatah Minang mengatakan, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannyo.”

Artinya, tradisi boleh berubah bentuk, tetapi nilai-nilainya harus tetap lestari, sebab dari sanalah jati diri orang Minangkabau terpelihara.

Penulis : Mutia Fadillah

www.swarakaltim.com @2024