Tantangan dan Masa Depan Perpustakaan Daerah: Dari Ruang Sunyi Menuju Ruang Inovasi Sosial

 

 

Oleh: Muliana
Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Mulawarman

“Apakah perpustakaan masih relevan di era digital?”
Pertanyaan ini kerap muncul setiap kali kita berbicara tentang masa depan literasi. Di tengahderasnya arus informasi, ketika pengetahuan bisa diakses dalam hitungan detik melalui gawai, banyak yang beranggapan bahwa perpustakaan mulai kehilangan pesonanya. Namun, benarkahdemikian?

Sesungguhnya, perpustakaan tidak sedang kehilangan peran, melainkan sedang mencari bentukbaru. Ia tidak lagi sekadar menjadi tempat menyimpan buku, tetapi bertransformasi menjadi pusatpembelajaran, ruang kolaborasi, dan wadah pemberdayaan masyarakat. Di sinilah letak tantangandan sekaligus masa depan perpustakaan daerah di Indonesia — termasuk Dinas Pepustkaan dan Kearipan Provinsi Kalimantan Timur.

Tantangan yang Masih Mengemuka, Pertama, tantangan sumber daya manusia pustakawan, Banyak pustakawan daerah masih terjebak dalam paradigma lama: mengelola koleksi, bukan mengelolapengetahuan. Padahal, di era digital, pustakawan perlu menjadi knowledge worker — seseorangyang mampu memfasilitasi pembelajaran, mengelola informasi digital, serta memahami kebutuhanpengguna yang semakin beragam.

Kedua, tantangan infrastruktur dan pendanaan, Tidak semua perpustakaan daerah memiliki fasilitasyang layak. Keterbatasan anggaran membuat layanan digital sulit dikembangkan, koleksi sulitdiperbarui, dan kegiatan literasi sering bergantung pada kreativitas individu, bukan sistem yang berkelanjutan. Padahal, membangun perpustakaan berarti membangun sumber daya manusia — investasi yang seharusnya sejajar dengan pembangunan infrastruktur fisik.

Ketiga, tantangan budaya literasi, Minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Membaca belummenjadi gaya hidup, melainkan aktivitas insidental. Tantangan ini bersifat kultural, dan perpustakaan harus hadir dengan cara baru: tidak menunggu pengunjung datang, tetapi menjemputmasyarakat melalui inovasi layanan, pojok baca di ruang publik, serta kolaborasi dengan komunitasliterasi lokal.

Keempat, tantangan kebijakan public, Perpustakaan sering kali belum dipandang sebagai bagianintegral dari strategi pembangunan daerah. Padahal, keberhasilan pembangunan manusia sejatinyabergantung pada literasi warganya. Tanpa masyarakat yang gemar membaca dan kritis berpikir, pembangunan fisik akan kehilangan makna.

Perpustakan harus bertransformasi dari lembaga administratif menjadi aktor pembangunan sosial.Transformasi ini sejalan dengan arah Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS)yang digagas Perpustakaan Nasional RI. Melalui pendekatan ini, perpustakaan menjadi ruanginklusif — tempat masyarakat belajar keterampilan, berbagi pengalaman, dan memperkuat jejaringekonomi kreatif. Di beberapa daerah, perpustakaan telah menjadi tempat pelatihan digital marketing, kursus menjahit, pelatihan UMKM, hingga ruang bagi pelaku seni lokal. Perubahan inimenunjukkan bahwa perpustakaan mampu menjadi katalis pemberdayaan masyarakat jika diberiruang berinovasi.

Namun, untuk mewujudkannya, diperlukan komitmen kebijakan yang kuat. Pemerintah pusatmaupun daerah perlu melihat perpustakaan bukan hanya sebagai “pelengkap program”, tetapisebagai bagian dari ekosistem pembangunan manusia. Kebijakan yang mendukung peningkatankapasitas pustakawan, digitalisasi layanan, dan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting.

 

 

Perpustakaan masa depan adalah perpustakaan digital yang kolaboratif dan partisipatif, Perpustakaan perlu beradaptasi dengan teknologi agar tetap relevan. Koleksi digital, katalog daring, dan layanan berbasis aplikasi memungkinkan akses tanpa batas. Namun, digitalisasi bukan hanyasoal perangkat, tetapi juga soal perubahan pola pikir: bagaimana menjadikan teknologi sebagaisarana memperluas jangkauan literasi, bukan pengganti interaksi sosial.

Selanjutnya Perpustakaan harus menjadi jembatan antara pemerintah, akademisi, komunitas, dan pelaku usaha atau swasta. Kolaborasi ini dapat melahirkan berbagai program kreatif — dari festival literasi hingga pelatihan keterampilan berbasis informasi. Kolaborasi akan memperkuat relevansiperpustakaan di tengah masyarakat yang terus berubah.

Dan Masyarakat bukan hanya pengguna, tetapi juga mitra. Perpustakaan yang hidup adalahperpustakaan yang dikelola dengan semangat gotong royong. Model perpustakaan komunitas dan program literasi desa bisa menjadi contoh bagaimana masyarakat turut memiliki dan menjaga ruangpengetahuan mereka sendiri.

Dukungan dunia usaha atau swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) juga berpotensi besar memperkuat peran perpustakaan. CSR di bidang literasi  menjadi bentukkolaborasi nyata antara sektor publik dan swasta

Jika ingin melihat kualitas pembangunan daerah, lihatlah perpustakaannya. Perpustakaan yang ramai, aktif, dan kreatif adalah cermin masyarakat yang literat dan berpikir kritis. Sebaliknya, perpustakaan yang sepi menunjukkan bahwa literasi belum menjadi prioritas bersama. Karena itu, menghidupkan perpustakaan bukan hanya tugas pustakawan, tetapi tanggung jawab kolektif seluruhelemen masyarakat.

Bagi kalangan akademisi dan mahasiswa, perpustakaan adalah laboratorium sosial yang menarik. Di sanalah kebijakan, pelayanan publik, partisipasi masyarakat, dan pemberdayaan sosial bertemudalam satu ruang. Kajian akademik yang mendalam akan membantu merumuskan model pengelolaan perpustakaan yang adaptif terhadap perubahan zaman.

Perpustakaan bukan sekadar ruang sunyi penuh rak buku. Ia adalah simbol dari tekad suatu bangsauntuk terus belajar, berpikir, dan berinovasi. Di tengah derasnya gelombang digitalisasi, perpustakaan justru memiliki peluang emas untuk bertransformasi menjadi pusat pengetahuan yang terbuka, dinamis, dan membumi, Di masa depan, perpustakaan bukan hanya simbol pengetahuan, tetapi juga simbol harapan — tempat masyarakat menata masa depan dengan membaca, belajar, dan berkolaborasi. Maka, menjaga perpustakaan berarti menjaga nyala intelektual bangsa.

 

www.swarakaltim.com @2024