Tenaga Kesehatan Indonesia di Era Public Private Mix

Sumber : Panduan Penerapan DPPM TB https://tbindonesia.or.id/pustaka_tbc/panduan-penerapan-dppm-tb/

SAMARINDA, Swarakaltim.comYes! We can end TB! Jargon hari Tuberkulosis (TB) 2024 menyulut semangat baru bagi masyarakat dunia tak terkecuali tenaga kesehatan yang terus berupaya mengakhiri TB. Sejak tahun 2000, program global yang dipelopori oleh WHO telah menyelamatkan 75 juta jiwa, memberikan harapan nyata bahwa eliminasi TB dapat dicapai. Tahun lalu, WHO melaporkan pemulihan signifikan dalam akses layanan diagnosis dan pengobatan TB di seluruh dunia, dengan angka diagnosis tertinggi sejak memulai pemantauan TB secara global pada tahun 1995. Meski kemajuan ini menggembirakan, Namun WHO juga melaporkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Diperkirakan 2,9 juta kasus TB tidak dilaporkan setiap tahunnya, dan Indonesia berkontribusi sekitar 10% dari angka ini. Statistik ini tidak hanya memprihatinkan, tetapi juga membuka peluang besar—dengan menangani kesenjangan pelaporan tersebut, Indonesia dapat secara signifikan mengubah lintasan epidemi TB global.

Menurut Tinjauan Sistem Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017, sebagian besar jaringan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di Indonesia terdiri dari fasyankes swasta, namun fasyankes swasta belum sepenuhnya terlibat dalam upaya deteksi dan pengobatan TB. Ini merupakan peluang yang terlewatkan. Mengingat fasyankes swasta menyumbang lebih dari 50% rumah sakit, menyediakan 60% layanan rawat jalan, dan 43% layanan rawat inap di Indonesia, potensi besar ini belum sepenuhnya termanfaatkan. Bahkan, berdasarkan studi Patient Pathway Analysis (PPA) tahun 2017, 54% deteksi dan pengobatan TB terjadi di fasyankes pemerintah, sedangkan hanya 42% kontribusi dari fasyabkes swasta. Lebih jauh lagi, Tempat Praktik Mandiri Dokter (TPMD) dan klinik swasta hanya menyumbang 1% dalam deteksi TB, sementara rumah sakit swasta hanya 8%. Kontribusi yang sangat kecil ini berdampak langsung terhadap kesenjangan pelaporan TB, mengakibatkan banyak kasus yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati.

Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia telah menempatkan penemuan kasus sebagai prioritas utama, dan pendekatan Public-Private Mix (PPM) telah diperkenalkan sebagai solusi. PPM mengintegrasikan fasyankes pemerintah dan swasta dalam upaya untuk meningkatkan deteksi, pengobatan kasus TB, kesembuhan pasien TB, hingga pencatatan dan pelaporannya. Negara-negara seperti Pakistan, India, dan Korea Selatan telah berhasil menerapkan pendekatan ini dengan hasil yang menggembirakan. Kolaborasi antara sektor pemerintah dan swasta di negara-negara tersebut terbukti mampu meningkatkan pelaporan kasus TB dan mempercepat upaya pengendalian penyakit. Di Indonesia, model PPM berbasis kabupaten/kota mulai diperkenalkan kembali pada tahun 2021, dengan harapan dapat memperluas cakupan deteksi dan pelaporan TB, terutama di sektor swasta.

Kota Samarinda menjadi salah satu kota prioritas dalam penerapan PPM untuk penanggulangan TB. Ketua Tim Kerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Kota Samarinda, dr. Dian Margi Utami, menjelaskan bahwa sejak PPM diimplementasikan pada tahun 2021, Proporsi klinik swasta yang melaporkan terduga (engaged) mencapai 79%—peningkatan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya ketika tidak ada laporan yang dialporkan oleh klinik swasta. Saat ini, notifikasi kasus TBC yang ditemukan dan dilaporkan oleh fasyankes swasta mencapa 54% dari target total kasus yang ditemukan.

Perlu diakui bahwa perjuangan tenaga kesehatan Indonesia dalam melawan TB di era PPM bukan tanpa tantangan. Mereka menghadapi berbagai hambatan dalam menjalankan peran mereka secara efektif, terutama dalam mengelola jaringan layanan TB yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak. Jaringan ini mencakup layanan laboratorium TCM, layanan rontgen, layanan pengobatan, dan tugas penting lainnya seperti melacak pasien yang mangkir. Pasien mangkir adalah pasien yang telah memulai pengobatan tetapi tidak menyelesaikannya. Dalam situasi ini, tenaga kesehatan harus bekerja keras untuk memastikan pasien kembali menyelesaikan pengobatan. Koordinasi yang baik antara fasyankes pemerintah dan swasta sangat penting, mengingat perbedaan protokol di antara kedua sektor ini.

Salah satu contoh nyata dari kompleksitas ini adalah memastikan jejaring internal maupun eksternal berjalan dengan baik seperti jejaring diagnosis TB dengan Tes Cepat Molekuler (TCM). Untuk mendiagnosis TB, fasyankes yang belum memiliki TCM dapat mengakses TCM ke fasyankes yang memiliki TCM, tenaga kesehatan harus berkoordinasi dengan laboratorium agar hasil pemeriksaan dapat segera disampaikan dan tercatat dalam SITB. Kesenjangan komunikasi atau penundaan dalam proses ini dapat menghambat pengobatan dini, yang sangat penting dalam penanganan TB. Begitu pula dengan jaringan pengobatan yang melibatkan berbagai jenis fasilitas, mulai dari puskesmas, rumah sakit, klinik swasta, hingga TPMD. Semua fasilitas ini harus beroperasi secara sinergis agar pasien dapat menerima perawatan yang berkesinambungan dan efektif.

Tantangan terbesar lainya bagi tenaga kesehatan adalah melacak pasien yang mangkir, karena kepatuhan terhadap pengobatan TB adalah kunci untuk mencegah resistensi obat, mencegah penyebaran penularan penyakit TB dan memastikan kesembuhan total. Tenaga kesehatan sering kali harus melakukan kunjungan rumah, menelepon pasien, atau bahkan melibatkan komunitas untuk membawa pasien yang mangkir kembali melanjutkan pengobatan TB. Tugas ini semakin sulit ketika menghadapi tantangan geografis dan logistik, terutama di daerah pedesaan atau terpencil. Meski begitu, upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan ini sangat penting untuk menjaga agar program pengendalian TB tetap berjalan sesuai rencana, mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut, dan menghindari berkembangnya resistensi obat.

Keberhasilan beberapa kabupaten dan kota dalam mengadopsi strategi PPM menjadi contoh penting yang bisa ditiru daerah lain. Salah satu elemen kunci dari strategi nasional PPM agar memudahkan akses masyarakat terhadap layanan TB. Dengan mengintegrasikan fasyankes pemerintah dan swasta, pendekatan PPM ini bertujuan untuk memastikan akses yang adil bagi semua masyarakat yang berisiko TB. Pendekatan ini juga membantu menjembatani kesenjangan dalam deteksi kasus, pelaporan, serta kualitas layanan yang diberikan kepada pasien.

Koordinasi yang efektif dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sangat penting, didukung oleh infrastruktur yang memadai, pelatihan yang berkelanjutan, dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat. Tenaga kesehatan tidak hanya berada di garis depan, tetapi mereka juga merupakan tulang punggung perjuangan ini, bertanggung jawab lebih dari sekadar diagnosis dan pengobatan. Mereka adalah pilar harapan, dengan dedikasi tanpa henti memastikan setiap pasien merasa didampingi dalam perjuangan menuju kesembuhan dari TB. Akhir dari tulisan ini adalah tenaga kesehatan membutuhkan dukungan. Eliminasi TB 2030 akan tercapai dengan kolaborasi kuat antara fasyankes pemerintah dan swasta. Jika semua pihak bekerja bersama dan mendukung peran penting tenaga kesehatan, eliminasi TB di Indonesia tidak lagi menjadi impian, tetapi kenyataan yang bisa dicapai.

Muhamad Zakki Saefurrohim

Samarinda, 21 Oktober 2024

Loading

Bagikan: