TENGGARONG, Swarakaltim.com – Di Desa Suka Bumi, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, deretan pohon sawit berdiri tegak di atas tanah yang sejatinya bukan milik perusahaan.
Tanah itu, seluas 305 hektare, dulu milik tiga keluarga: almarhum Mohd. Asri Hamzah (193 hektare), Darmono (73 hektare), dan Mahrun (39 hektare).
Mereka punya akta jual beli resmi, surat PPAT yang sah, dan tanaman produktif yang sudah mereka rawat bertahun-tahun.
Namun sejak 2013, semua itu hilang. PT Kutai Agro Jaya (KAJ) masuk, menggusur kebun sawit, karet, dan singkong gajah warga.
Rumah kayu pun diratakan. Tak ada perjanjian, tak ada transaksi. Hanya intimidasi, ancaman parang, dan kehadiran preman yang diduga dibayar perusahaan.
“Sejak saat itu, kami seperti dipaksa jadi tamu di tanah sendiri,” kata Mahrun, suaranya tercekat.
Puncak ketegangan terbaru terjadi Rabu (1/10/2025). Kuasa hukum Borneo Raya Law Firm bersama warga berusaha memasang spanduk bertuliskan “Pengumuman: Tanah Ini Milik Darmono Dkk” di lokasi SP 6.
Alih-alih dihormati, aksi itu dihalangi sejumlah orang tak dikenal yang diduga preman bayaran.
Aparat keamanan pos jaga perusahaan pun ikut mengawasi, dan Warga diperlakukan seolah-olah mereka penyusup, padahal mereka adalah pemilik sah tanah tersebut.
“Klien Kami sudah dirugikan secara materiil dan immateriil lebih dari 10 tahun. Tanaman mereka dipanen orang lain, rumah mereka dihancurkan, dan hak mereka dirampas. Ini jelas perbuatan melawan hukum,” tegas kuasa hukum, Gunawan, SH.
Bagi Mahrun, tanah itu bukan sekadar harta. Ia adalah sumber hidup. Dari singkong gajah yang dulu bisa panen tiap tiga bulan, ia bisa menyekolahkan anak. Dari karet, ia bisa membeli kebutuhan harian. Kini, semua hilang.
“Anak saya pernah bertanya. Kenapa rumah kita hilang, kenapa kebun kita jadi sawit orang lain. Itu pertanyaan yang paling susah saya jawab,” ucapnya.
Darmono pun merasakan hal sama. Kebun sawitnya yang sudah berbuah pasir digusur begitu saja.
“Dulu kami panen, hidup layak. Sekarang kami hanya bisa melihat orang lain yang panen di atas tanah kami sendiri,” katanya.
Kasus ini bukan sekadar konflik tanah. Ia adalah cermin betapa hukum di negeri ini sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Warga dengan legalitas lengkap dipinggirkan, sementara perusahaan yang mengambil alih tanpa dasar jelas tetap beroperasi leluasa.
Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, justru lebih sering tampak berdiri di sisi korporasi.
“Kalau PT KAJ memang punya HGU atau izin lain, tunjukkan! Jangan diam. Kenapa sampai sekarang tidak pernah terbuka ke publik,” tantang Gunawan.
Fenomena ini menegaskan bahwa konflik agraria di Kaltim bukan persoalan satu desa. Ia adalah luka kolektif yang terus dibiarkan menganga: tanah rakyat beralih ke korporasi, warga kehilangan penghidupan, dan negara hadir hanya sebagai penonton.
Timeline Konflik: 2013 – 2025
Tahun 2013 PT KAJ masuk, gusur kebun dan rumah warga tanpa perjanjian. Tahun 2014 – 2016, warga dipaksa bertahan di bawah intimidasi preman. Kemudian tahun2017 – 2019. Perusahaan memperluas sawit, lahan sepenuhnya dikuasai.
Sedangkan di tahun 2020 – 2022. Pendampingan hukum mulai masuk, laporan warga tak ditindak. Hingga tahun 2023 – 2024. Pos jaga perusahaan diperketat, warga dilarang masuk.
Kemudian pada 1 Oktober 2025, aksi spanduk warga dihalangi preman, ketegangan pecah. Gugatan hukum disiapkan warga menuntut keadilan di pengadilan.
Lebih dari 12 tahun, warga Desa Suka Bumi hidup dalam bayang-bayang sawit yang berdiri di atas tanah mereka.
Mereka kehilangan miliaran rupiah, kehilangan rumah, kehilangan rasa aman. Namun yang paling pahit, kehilangan kepercayaan pada hukum.
Kini, publik menunggu apakah kasus ini hanya akan menjadi daftar panjang konflik agraria tanpa akhir, atau menjadi momentum negara untuk menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat.
“Tanah ini milik kami secara sah. Kami tidak akan berhenti sampai hak kami kembali,” tegas Mahrun. (AI)
Editor : Alfian
Publisher : Redaksi