Oleh : Siti Sakinah (Mahasiswi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman) Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Swarakaltim.com – Akhir-akhir ini, media pers dipenuhi berita mengenai berbagai problem mulai dari kasus kopi sianida yang kembali viral, kasus konflik warga Rempang dan terlebih menjelang pemilu yakni isu batasan umur minimal dan ada gugatan baru mengenai batas maksimal umur Capres dan Wapres yang kini tinggal menunggu putusannya oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga mendapat perhatian publik yang akhirnya melahirkan berbagai asumsi masyarakat.
Sebelum ini, MK pun telah menolak 5 gugatan UU Cipker yang sudah diputuskan yaitu UU Cipker No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang. MK menolak semua uji formil dan dilanjutkan dengan uji materiilnya.
Putusan fenomenal tersebut dan isu baru mengenai batasan umur Capres dan Wapres tersebut memancing masyarakat membuat cetusan atau anekdot yang merubah kepanjangan dari singkatan MK menjadi “Mahkamah Keluarga”.
Hal ini sudah pasti bukan spontan keluar semata, asbabnya ialah karena fenomena tersebut seakan-akan membangun dinasti kerajaan Jokowi, bagaimana tidak. Ketua dari Mahkamah Konstitusi yaitu Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H merupakan Ipar dari Presiden Jokowi. Jika kemudian MK menerima mengenai perubahan batasan umur Capres dan Wapres, maka isu Gibran Raka Buming Raka yang berpengalaman sebagai Walikota Solo pun mempunyai peluang untuk menjadi Cawapres yang akan dipasangkan oleh Prabowo maka elektabilitas Prabowo semakin tinggi, hal ini jelas karena kekuatan suaranya akan banyak.
Bukan hanya itu, Kaesang Pangarep pun di masa singkat berpolitiknya ia langsung menjadi ketua Partai Politik yakni PSI, lengkap sudah Dinasti Kerajaan Keluarga ini.
Fachry Ali Analis politik senior dalam suatu acara berpendapat bahwa Analis politik senior memprediksi akan terjadi ledakan kesadaran, perasaan publik dan ledakan ekspresi publik bila putusan MK terbukti untuk memuluskan jalan Gibran menuju Pilpres.
Sebenarnya benar genetika kepemimpinan tak bisa dipungkiri dari founding fathers sampai penerus kini, namun jika “naik” hanya karena previllage keluarga dan minim pengalaman kepemimpinan, akhirnya timbul pertanyaan “Apakah Indonesia akan baik-baik saja karena diurus oleh 1 clan keluarga semata?”.
Jika sudah seperti ini, kendati demikian warga banyak proaktif terhadap Presiden Jokowi bukan berarti juga mendukung terhadap ihwal demikian, justru mempertanyakan.
Ledakan ekspresi publik akan terjadi setelah putusan yang dinanti berlangsung pada 16 Oktober 2023 WIB. Revisi ini berlangsung saat MK sedang menyidang gugatan atas atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur batas umur Capres dan Cawapres adalah minimal 40 tahun. Sementara ada masuk gugatan untuk menurunkannya menjadi 35 Tahun atau berpengalaaman sebagai penyelenggara Negara.
Maka ihwal tersebut, Pers dalam hal ini media massa mempunyai amanah besar untuk tidak lengah dan tidak memicu konflik dengan terus mengawal sampai akhir. Karena Pers ialah wadah untuk berdemokrasi, sebagai transparansi maka jangan sampai berpihak sana sini. Melihat potret fenomena kasus kopi sianida yang 7 tahun kemudian baru viral kembali menunjukkan bahwa media kini lebih pesat dan kebebasan masyarakat dunia media juga kian aktif apalagi menjelang pemilu dan ahli menyebutkan ada “Ledakan Ekspresi Publik”.
Ledakan yang sifatnya mengagetkan tersebut mengisyaratkan bahwa harus ada wadah yang disediakan untuk memberikan penerangan untuk meredakan dan menenangkan dengan ikut serta tahu apa yang terjadi.
Pers yang berimbang adalah sebuah kehauran, namun menurut penulis keberimbangan Pers terkadang hanya hitam di atas putih belaka. Karena pada kenyataanya dalam kehidupanpun kita harus berpihak, dan ini tergantung lagi mau berpihak ke mana.
Pers sudah jelas harus berpihak demi kepentingan rakyat tentu dengan terus mengawal dan mampu menyajikan berita atau informasi yang edukatif tentang pemilu, tidak menggoreng berita yang membuat konflik, tidak mengalihkan isu atau mengawal pemberitaan sampai ke akarnya sehingga tidak ada keraguan bagi masyarakat bahwa media massa tertentu disetir oleh oligarki belaka.
Ledakan ekspresi yang digadang-gadang akan muncul nanti, sebetulnya sudah terjadi atas putusan MK yang fenomenal dengan adanya julukan “Mahkamah Keluarga”, sebagai rakyat sudah menjadi kewajiban untuk mengawal para pelayan kita karena kodratnya manusia ialah harus selalu diingatkan agar tak lupa bahwa ia bukan hanya memimpin keluarganya semata namun 270 juta masyarakat Indonesia di bawah sumpahnya. Jangan takut untuk bersuara namun takutlah ketika tidak ada siapapun yang berani lagi untuk bersuara.(*/Sakinah12latief@gmail.com)