SAMARINDA, Swarakaltim.com – Seorang pasien perempuan berinisial RK diduga menjadi korban malapraktik di salah satu rumah sakit swasta di Kota Samarinda. Ia menjalani operasi usus buntu yang disebut dilakukan dalam kondisi tidak sepenuhnya sukarela. Saat ini, kasus tersebut sedang diupayakan untuk diselesaikan melalui jalur non litigasi dengan mediasi oleh DPRD Samarinda.
Peristiwa berawal pada 15 Oktober 2024 ketika RK mengalami kambuhnya penyakit maag setelah mengkonsumsi makanan ketan. Setelah sempat berobat ke fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam program BPJS, ia disarankan untuk rawat inap karena gejala dehidrasi dan lemas.
Setelah gagal mendapatkan kamar rawat inap di dua rumah sakit berbeda, RK akhirnya dirawat di rumah sakit swasta yang kini tengah menjadi sorotan. Menurut kuasa hukum korban, Titus Tibatan Pakalla, sesampainya di rumah sakit tersebut, pasien sempat mengalami tindakan yang dinilai tidak sesuai prosedur oleh tenaga medis.
“Perawat menekan area perut klien kami dengan keras, padahal ia sedang mengalami kejang dan muntah-muntah akibat maag akut. Bahkan muncul dugaan gejala usus buntu yang tidak sesuai dengan riwayat kesehatannya,” jelas Titus, Selasa (7/5/2025).
Dua hari setelah dirawat, seorang dokter mendiagnosis RK menderita radang usus buntu dan menyarankan operasi. RK menolak karena merasa kondisinya sudah membaik. Namun, menurut pengakuan korban, dokter menyampaikan bahwa jika ia tidak bersedia dioperasi, maka pembiayaan perawatannya tidak lagi ditanggung oleh BPJS dan harus dibayar secara pribadi.
“Karena keterbatasan dana, klien kami merasa tertekan dan akhirnya menyetujui operasi tersebut,” ujar Titus.
Operasi dilakukan pada 20 Oktober 2024. Namun, kondisi RK justru memburuk pascaoperasi, dengan keluhan demam tinggi dan muntah. Ia dipulangkan dua hari kemudian, meskipun masih merasakan nyeri di bagian bekas operasi. Setibanya di rumah, RK sempat pingsan dan mencoba kembali ke rumah sakit tersebut, namun ditolak dengan alasan tidak ada dokter yang bertugas.
“Pasien kemudian dirujuk ke rumah sakit lain dengan surat yang menyatakan kondisinya stabil, padahal masih dalam keadaan sakit. Bahkan perawatlah yang sebelumnya menyarankan untuk dirujuk,” tambah Titus.
Pihak keluarga pasien kini menuntut pertanggungjawaban pihak rumah sakit dan dokter yang menangani operasi. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang difasilitasi DPRD Samarinda pada Kamis (8/5/2025), pihak rumah sakit maupun dokter bersangkutan tidak hadir.
“Jika tidak ada itikad baik, kami akan menempuh jalur hukum. Sesuai UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasien berhak menolak tindakan medis dan berhak mendapatkan salinan rekam medis,” tegas Titus.
RDP lanjutan dijadwalkan kembali digelar DPRD untuk mencari titik terang kasus ini.(Dhv)