BALIKPAPAN,Swarakaltim.com. Program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi siswa di sekolah terus diupayakan Pemerintah Kota Balikpapan. Namun di balik semangat pelaksanaan program tersebut, masih banyak tantangan yang harus dibenahi, mulai dari mahalnya rantai pasokan pangan hingga kesiapan sarana dan sumber daya manusia di lapangan.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Balikpapan, Muhaimin, mengungkapkan bahwa Balikpapan belum sepenuhnya siap dari sisi rantai pasokan pangan. Kota ini masih bergantung pada pasokan dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok seperti telur, daging, ayam, dan sayur-mayur.
“Rantai makanan di Balikpapan ini mahal. Telur, sayur, daging, ayam semuanya masih impor dari luar daerah. Ini bisa menimbulkan kenaikan harga di pasar,” jelas Muhaimin, usai kegiatan evaluasi pelaksanaan MBG, di Auditorium Balai Kota pada hari Selasa (11/11/2025).
Kondisi tersebut, lanjutnya, juga berdampak pada minat pelaku usaha untuk bergabung menjadi penyedia layanan SPBG (Sentra Penyediaan Makanan Bergizi). Banyak pengusaha masih menahan diri karena khawatir tidak bisa menyesuaikan harga produksi dengan tarif standar nasional MBG sebesar Rp12 ribu per porsi.
Selain persoalan pasokan pangan, tantangan lain datang dari sisi teknis pelaksanaan di sekolah. Guru dan tenaga pendidik, kata Muhaimin, kini ikut terbebani dengan tanggung jawab tambahan untuk memastikan makanan aman dan tertata.
“Biasanya guru ikut mengumpulkan wadah makanan siswa di sekolah. Ini tentu menambah tugas baru di tengah aktivitas mengajar yang sudah padat,”ujarnya.
Ia menekankan pentingnya fasilitas penyimpanan makanan di sekolah agar kualitas gizi tetap terjaga sebelum jam makan tiba.
“Waktu antara belajar dan makanan datang bisa berbeda setengah jam. Kalau makanan dibiarkan di luar, bisa jadi basi atau terkontaminasi serangga. Ini membahayakan,”tambahnya.
Pemerintah pusat menargetkan perluasan cakupan MBG hingga 50 persen di tahun mendatang. Namun, Muhaimin mengingatkan bahwa peningkatan kebutuhan bahan pangan tanpa kemandirian lokal bisa memicu gejolak harga dan inflasi daerah.
“Sekarang baru 17 persen saja sudah terasa dampaknya. Kalau naik jadi 50 persen, kebutuhan pangan dari luar semakin banyak, harga juga bisa naik. Apakah harga Rp.12 ribu masih realistis?” katanya.
Ia mencontohkan bahwa di Balikpapan, komoditas sederhana seperti cabe, kangkung, dan beras pun sering menjadi pemicu inflasi. Karena itu, menurutnya, pemenuhan pangan lokal harus menjadi prioritas utama agar program MBG berjalan berkelanjutan tanpa menimbulkan tekanan ekonomi baru.
Muhaimin menilai perlu adanya kebijakan harga fleksibel untuk program MBG yang menyesuaikan dengan karakteristik dan biaya logistik tiap daerah. “Tidak bisa disamakan antara Balikpapan dengan daerah penghasil pangan di Pulau Jawa. Di sini bahan pokok lebih mahal, distribusinya juga jauh,” ujarnya.
Menurutnya, bila harga tidak disesuaikan, pelaku usaha akan sulit memenuhi kebutuhan produksi tanpa mengorbankan kualitas gizi anak-anak penerima program. Karena itu, usulan penyesuaian harga sudah diajukan agar lebih proporsional dengan kondisi ekonomi dan geografis Balikpapan.
Sebagai bentuk mitigasi, Pemerintah Kota Balikpapan bersama Satuan Tugas (Satgas) Pangan akan melakukan pengawasan harga bahan pokok agar tetap stabil. Tujuannya, memastikan kebutuhan pangan MBG tetap terjangkau dan distribusinya lancar.
“Semua pihak harus berkoordinasi. Program ini memang masih banyak tantangannya, tapi harus terus didorong supaya pemenuhan gizi anak bisa tercapai di Balikpapan,” tutup Muhaimin.(*/pknop127)