Gambar : blogspot.com
Swarakaltim.com – Interaksi dan Komunikasi yang dilakukan manusia di dalam kehidupan sehari-hari mereka terkadang tak luput dari adanya luapan emosi yang diiringi dengan pelontaran kata makian. Manusia seringkali melakukan umpatan atau makian dengan tujuan yang berbeda, diantaranya kata makian seringkali dilontarkan hanya sebatas bentuk luapan kekesalan yang ada di dalam diri, ataupun sebagai hinaan terhadap orang lain.
Umumnya, sebuah kata-kata dapat dikatakan sebagai sebuah kata umpatan dikarenakan pengaruh dari budaya dan tradisi yang membentuk perspektif masyarakat terhadap interpretasi konotasi dari sebuah kata. Karena itulah kata “anjing” dan “babi” dapat dianggap sebagai kata yang tabu untuk dilontarkan bagi orang Indonesia, namun mungkin tidak bagi orang-orang dari negara-negara lain yang memiliki bahasa berbeda.
Pembaca juga perlu mengingat bahwa budaya suatu bangsa erat kaitannya dengan pengaruh dari ajaran agama. Di Indonesia sebagai negara dengan penduduk yang mayoritas beragama islam, terdapat banyak budaya yang merupakan bentuk akulturasi dari agama islam. Anjing dan babi itu sendiri merupakan hewan yang dianggap najis dan haram untuk dimakan dalam ajaran agama islam.
Selain karena ajaran agama, penyebab kata babi dan anjing dianggap sebagai kata umpatan dapat diasosiasikan dengan karakteristik dari kedua hewan tersebut. Anjing meskipun dianggap sebagai hewan yang loyal dan merupakan sahabat manusia juga memiliki kandungan air liur yang bisa menjadi perantara dari penyakit rabies yang bisa saja diidap oleh anjing tersebut. Anjing merupakan hewan yang paling umum ditemui mengidap penyakit tersebut, karena itu seringkali penyakit rabies dianggap sebagai penyakit “anjing gila”. Dibandingkan hewan peliharaan seperti kucing, anjing juga memiliki kecenderungan lebih untuk menggigit manusia. Sedangkan babi dianggap sebagai hewan yang terkesan jorok karena kebiasaannya untuk menghabiskan banyak waktu bermandikan lumpur dan kotoran yang membuatnya memberikan kesan kontroversial disbanding perilaku hewan lain dalam perspektif masyarakat.
Secara keseluruhan, interpretasi negatif terhadap nama hewan tertentu seperti “anjing” dan “babi” lebih berkaitan dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan sejarah yang ada di masyarakat. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa interpretasi ini bisa bervariasi antar budaya dan tidak selalu berlaku di semua konteks.