Putra Kaltara Punya Cerita (2) Tak Menyangka Beristri Anak Kyai

SWARAKALTIM.COM – HARI mulai cerah. Sang surya telah menunjukkan sinar siap memberikan semangat baru bagi siapa saja yang terbangun dipagi hari. Di upuk Utara Kalimantan bujang muda pun siap melangkahkan kakinya menuju perantauan. Bismillah dalam hatinya bergumam.

Yahh Jailani nama lengkapnya. Jai biasa dia akrab dipanggil. Langkah demi langkah pun dilaluinya dari tempat dia lahir di Nunukan, dulunya Bulungan sebelum dimekarkan sebagai otonomi baru. Sembari membawa beberapa lembar pakaian yang dimasukkan ke dalam tas. Siap menuju perantauan di negeri orang.

Kota Tepian Mahakam Samarinda lah jadi tujuan utama perantauannya. Karena, selain ada cukup banyak keluarga dari kampungnya, pun saudara perempuannya sudah lebih dulu merantau mendahuluinya, dialah Kak Ben (Alm) dia biasa menyebutnya.

Menggunakan Kapal Perintis Angkatan Laut ketika itu menjadi tumpangan satu-satunya menuju Samarinda dari Nunukan dengan waktu tempuh selama satu minggu perjalanan atau sepekan. Akses masih susah kala itu. Tepat 25 Desember 1979, ditinggalkannya lah kedua orang tuanya menuju perantauan. Tiba di Samarinda, tahun pun berganti. Ya tahun baru biasa umumnya disebut.

Tiba di Samarinda, pemuda setengah baya ini pun diterima Kak Ben dan tinggallah di rumah pamannya yang memang sudah lama menetap di Samarinda. Merupakan PNS Kehutanan dikala itu. Dialah Paman Djagung Hanafiah (Alm) bersama istrinya Dipang Hafifah (Alm) atau cucunya menyebut Kai Djagung.

“Baik-baik kau di tempat orang ya. Jangan mengeluh. Kita merantau. Hargai orang tua yang membantu kita di sini. Jangan kau malas,” tegas Kak Ben saat itu kepada Jai.

Pesan itu pun terus diingat Jai. Sebagai motivasi semangat untuk meraih mimpi dan cita-citanya. Pemuda kelahiran 11 Juli 1962 ini pun berupaya keras dan pantang menyerah menapaki perjalanan perantauannya dengan satu tekad meraih cita-cita diperantauan.

Usianya 18 tahun kala itu. Sembari melanjutkan pendidikan di SMA Cendana DDI Samarinda 1980 dan lulus 1983, Jurusan IPA. Sembari menjalani hidup. Jai sadar semua tak mudah, apalagi diperantauan.
Dia pun bekerja sesuai kemampuannya, kadang sebagai buruh kasar, angkat kayu atau menebas rumput di PT Inhutani tempat Paman Djagung nya bekerja.

Pagi hingga Siang dia bekerja sore sekolah. Saat itu, dia memberanikan diri untuk kuliah. Universitas ternama pun menjadi tujuannya kuliahnya Universitas Mulawarman Fakultas FKIP, Jurusan MIPA Bidang Studi Biologi. Setahun menjalani di Fakultas Keguruan tersebut dia pun pindah jurusan ke Bidang Pendidikan Moral Pancasila saat itu dan lulus 1985 dengan predikat sarjana ahli madya D1.

Jai pun sadar dia harus tetap berjuang dan kerja keras bagaimana meraih mimpi dan cita-citanya menjadi seorang guru. Berbekal ijazah D1 nya dia pun lulus PNS Guru dan penempatan di Pulau Sebatik, yakni SMP Negeri Sebatik 1986 ketika itu.

Menariknya, sebelum lulus kuliah D1, Jai tetap bekerja membantu pamannya sebagai buruh kasar bersama sepupu-sepupunya yang lain, yang ketika itu juga merantau di Samarinda.

“Keluarga Paman Djagung sangat baik dengan kami keponakannya. Pun siapa saja yang sanak keluarga merantau di Samarinda pasti diterimanya dengan ikhlas penuh kasih sayang,” ingatnya ketika itu.

Masa itu sangat indah dan tak terlupakan oleh Jai muda. Perawakan tinggi dan putih serta memiliki kemampuan pendidikan yang memadai membuatnya percaya diri akan meraih mimpi. “Aku yakin, dengan berdoa kepada Sang Maha Kuasa, ikhtiar, kerja keras, menghargai orang tua siapa saja, tidak sombong dan rajin belajar Insyaallah pasti ada jalan meraih cita-cita. Apalagi diperantauan,” gumamnya dalam hati.

Hari demi hari pun dijalani sembari mencari jati diri meraih mimpi diperantauan. Pagi bantu paman. Sore kalau libur mandi di batang Sungai Mahakam.

Air Mahakam mungkin tak akan terlupakan oleh Jai, mandi, berenang itulah kebiasaan anak-anak muda disaat itu, begitu pun Jai. Air Mahakam yang jernih tanpa polusi sangat segar kala itu.

Siapa saja anak muda mudi pasti mandi di batang. Tak terkecuali Gadis Perawan usia 20 tahun Aida biasa dipanggil, Nuraida nama lengkapnya. Rambutnya yang ikal bergelombang, senyumnya yang manis menjadi perhatian Jai dikala itu.

Jodoh mungkin tak kemana, pertemuan di Batang Sungai Mahakam jadi awal kehidupan baru kisah Jai diperantauan. “Ohh dunia mungkin itu takdirku. Ini jodohku ketika memandang Aida,” seloroh Jai dalam hati.

Kebersamaan dan saling mengenal menjadi perjalanan hidup baru Jai tahun 1985 saat itu. Tak ingin berlama membujang, agar tak menjadi omongan orang lain dan menjadi zina. Jai muda memberanikan diri melamar Aida.

Tak tahu bagaimana ketika waktu melamar, bak disambar petir disiang bolong. Jai pun kaget siapa yang akan dinikahinya itu. Jai cuma tahu nama, orang tua Nuraida adalah Muhammad Rifa’i Kadir atau KH M Rifa’i Kadir seorang ulama besar dan juga politisi PPP diparlemen saat itu dan dikenal di Jalan Cendana maupun di Kota Samarinda.

“Subhannallah anak kyai ku nikahi,” ucap Jai dengan diam seribu bahasa bersiap melangsungkan Ijab Kabul. “Insyaallah ada hikmah dari ini semua,” semangat Jai dalam hati yang siap menempuh hidup baru kala itu. Perjalanan hidup merantau pun dilalui dengan suka dan duka oleh Jai diusianya masih 23 tahun.


Jai diterima PNS sebagai Guru 1986 setelah setahun menikah. Aida pun dibawa ke Sebatik. Tak lama memang di Sebatik. Kembalilah ke Kota Tepian memulai hidup yang baru lagi bersama Aida. Kenangan di Sebatik mungkin tak terlupakan. SMP Negeri 9 Samarinda menjadi tempat awalnya mengajar di Samarinda. Buah hasil kerja keras, semangat tak pernah lelah dan selalu berdoa, menghargai orang tua, siapa pun itu terutama kepada mereka yang pernah membantu selalu dihargai dan dihormati.

Jai pun meraih mimpinya selain menjadi Guru PNS dan kini dalam puncaknya sebagai predikat Pembina disalah satu sekolah di Samarinda maupun Kutai Kartanegara Provinsi Kaltim.

Jai dikarunia tiga jagoan yang gagah dan cerdas. Ada yang masih sekolah, dua yang sudah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi.
“Sebagai menantu kyai kau harus bisa jaga diri dan nama baik keluarga ulama besar. Inilah hidup,” celetuk Kakaknya Si Ben ketika itu mendampinginya.

Jailani telah menempuh pendidikannya saat di Samarinda 1990 dan kuliah D3 Jurusan IPA Terpadu. Berkat semangat kerja keras, tahun 2003 melanjutkan studi Jurusan Biologi, FKIP Unmul lulus 2005 bergelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).

“Tak Menyangka Beristri Anak Kyai” itulah perjalanan panjang dilalui Jailani, S.Pd dari Bumi Utara Kalimantan meraih mimpi dan cita diperantauan.

(tim/sk.Penulis : Kerabat Narasumber Dalam Tulisan)

Loading