Aliansi Mahakam Gelar Aksi Tuntut Bebaskan 2 Mahasiswa Dalam Sidang Putusan Praperadilan

SAMARINDA, Swarakaltim.com – Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam) menggelar aksi solidaritas demi pembebasan 2 mahasiswa bernama Firman dan Wisnu di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda Jalan M Yamin Kelurahan Gunung Kelua Kecamatan Samarinda Ulu, Kamis (17/12/2020) tadi siang.

Kedua mahasiswa ini ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka, paska aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang berujung bentrok di depan Kantor DPRD Kaltim, 5 November silam.

Wisnu, mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul), ditangkap petugas karena diduga telah melakukan tindak penganiayaan berupa pelemparan batu. Mengakibatkan satu personel polisi mengalami luka di bagian kepalanya.

Sedangkan Firman, mahasiswa Politeknik Negeri Samarinda (Polnes), ditangkap petugas karena diduga membawa sajam berupa badik. Singkatnya, ketika proses hukum sedang berjalan, kedua mahasiswa ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda.

Namun perihal penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka, dituding mengalami cacat formil prosedur. Polisi dianggap hanya mengkambing hitamkan kedua mahasiswa tersebut. Atas dasar itulah, dua tersangka melalui kuasa hukumnya, memilih menempuh jalur praperadilan.

Saat dikonfirmasikan ke Korlap Aksi Ahmad Rifai menjelaskan aksi ini yang ke-sembilan kalinya, dan dua kawan juang tersebut merupakan korban kambing hitam dari aparat kepolisian yang dinilai hanya tuduhan tanpa disertai bukti yang kuat.

“Dua kawan ini bagian dari massa aksi yang mestinya dilindungi oleh Negara dalam menyampaikan kebebasan ber-ekspresi dan kebebasan berpendapat untuk menolak Omnibus Law UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” lanjutnya.

Untuk itu sebutnya mereka melakukan pengawalan terhadap Pra Peradilan dan menuntut untuk pembebasan tanpa syarat bagi dua kawan kami ini.

“Minta untuk menghentikan pembungkaman di ruang demokrasi terhadap gerakan rakyat, serta mendesak hakim bersikap adil dalam kasus pra peradilan Wisnu dan Firman,” tegasnya.

Disisi ruang Pengadilan Negeri keputusan hakim tunggal akan dibacakan, untuk perkara tersangka Wisnu, termohon maupun pemohon memberikan berkas kesimpulannya kepada Hakim Tunggal Yoes Hartyarso. Sedangkan perkara tersangka Firman, kedua belah pihak mengumpulkan berkas kesimpulannya kepada Hakim Tunggal Agung Sulistiyono.

Apabila praperadilan dimenangkan oleh pihak termohon Polresta Samarinda, maka tersangka kemudian akan dinaikkan statusnya sebagai terdakwa di dalam persidangan pokok perkara.

Namun, apabila praperadilan dimenangkan oleh pemohon dari dua tersangka, maka kedua mahasiswa tersebut, dipastikan akan terlepas dari jeratan penetapan tersangka, serta dilepaskan dari penahanannya.

Saat ditemui awak media usai persidangan, Indra, kuasa hukum tersangka Wisnu, menyampaikan inti dari berkas kesimpulan yang diserahkan ke Hakim Tunggal Yoes Hartyarso.

“Kami menanggapi alat bukti yang telah disampaikan oleh pihak termohon kepolisian. Dan memberikan kesimpulan atas fakta persidangan,” ujarnya.

Ia mengatakan dari sejumlah alat bukti yang telah diungkapkan termohon Polresta Samarinda di dalam persidangan tidak lengkap, sehingga penetapan tersangka yang dilakukan kepolisian terhadap Wisnu, belum memenuhi bukti yang cukup.

Menurut Indra, bukti yang ada, merupakan alat bukti baru dikumpulkan pihak kepolisian setelah Wisnu ditetapkan sebagai tersangka. Dengan demikian, alat bukti tersebut dinyatakan tidak sempurna.

“Pihak Kepolisian telah menetapkan tersangka itu 6 November 2020 lalu, Sedangkan alat bukti dasar penetapan tersangka yang berupa hasil visum korban, keluarkan pada tanggal 12 November 2020,” terangnya.

Di tempat terpisah, Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bernard Marbun selaku kuasa hukum tersangka Firman mengatakan, pada persidangan ini, pemohon tidak jadi menghadirkan saksi ahli dan langsung melanjutkan ke persidangan beragendakan kesimpulan. Dan ada tiga poin penting yang disampaikan ke hakim tunggal di dalam berkas kesimpulannya.

“Untuk poin pertama, pemohon menyampaikan, Firman tidak bisa dikategorikan tertangkap tangan. Sebagaimana yang telah dituduhkan pihak termohon Polresta Samarinda,” imbuhnya.

Dijelaskannya, saat Firman ditangkap aparat kepolisian, ia ditemukan sedang tidak melakukan tindak pidana apapun. Contohnya, seperti memegang ataupun mengacungkan senjata tajam pada saat bentrokan terjadi.

“Selain itu, tidak ada juga yang melihat secara pasti, senjata tajam itu benar-benar milik Firman. Karena senjata tajam itu ditemukan sejauh 8 meter, saat Firman diamankan kepolisian,” terangnya.

Poin Kedua yang disampaikan dalam berkas kesimpulan terkait dua alat bukti berupa laporan polisi dari keterangan dua saksi, bahwa dari dua alat bukti yang dibeberkan termohon di dalam persidangan, pelapor hingga saksi di berita acara pemeriksaan (BAP) seluruhnya diisi oleh petugas kepolisian.

“Nah ini aneh. Padahal di 5 November itu, di titik kejadian sedang banyak orang di sana. Kenapa tidak mengambil saksi dari masyarakat umum,” ungkapnya.

“Ini kan janggal. Itu bisa kita lihat, mengenai ini ada di Pasal 185 ayat 6 KUHAP, yang menyatakan bahwa, saksi itu harus bebas, netral, objektif, dan jujur. Dengan dua saksi dari unsur kepolisian, ini kan bisa saja ada kepentingan. Sehingga dinilai tidak objektif dan juga tidak netral. Kenapa harus polisi doang yang jadi saksi. Dan polisi juga yang melakukan pelaporan,” jelasnya lagi.

Pada Poin ketiga, terkait adanya pernyataan termohon yang mengatakan, Firman ditetapkan tersangka pasca tertangkap tangan membawa senjata tajam. Hal itu disampaikan tim Advokasi Polresta Samarinda, di dalam persidangan beragendakan jawaban termohon atas pertanyaan pemohon.

“Menurut Perkap kepolisian nomor 6 tahun 2019 terkait tertangkap tangan, dijelaskan, seharusnya Polresta Samarinda tidak perlu melakukan mekanisme gelar perkara,” katanya.

“Sementara dalam Perkap kepolisian nomor 6 tahun 2019. Kalau kasusnya tangkap tangan, itu tidak perlu adanya mekanisme gelar perkara. Ini kan aneh, Firman ini sebenarnya apakah tertangkap tangan atau apa. Kenapa seolah-olah kasusnya seperti perkara biasa. Ini kan menjadi keganjilan,” timpalnya.

Dalam sebuah putusan dari Mahkamah Konstitusi nomor 21/TPU/12/2014 yang telah memberikan syarat tambahan. Yakni, selain melengkapi dua alat bukti, pihak kepolisian seharusnya melakukan pemeriksaan dahulu kepada calon tersangka. Namun bukan langsung ditetapkan sebagai tersangka.

“Dilihat dari daftar alat bukti, itu tidak ada Firman terlebih dahulu diperiksa sebagai calon tersangka. Tapi dia langsung diperiksa sebagai tersangka. Seharusnya kan ada dua alat bukti dan pemeriksaan terhadap calon tersangka,” tukasnya. (AI)

Editor : Redaksi

Loading

Bagikan: