Caption: Plt Kepala DPPKBP3A Berau Dahniar saat melakukan MoU antar SDN 02 Sambaliung dengan DPPKBP3A yang merupakan pilot project SRA di Kabupaten Berau.
TANJUNG REDEB, Swarakaltim.com – Ditengah pandemi corona virus disease 2019 (covid-19), Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Berau tidak surut semangatnya, akan tetapi terus berkiprah merealisasikan satu persatu programnya.
Meskipun agak lamban akibat wabah yang belum kunjung menghilang namun pasti, sebagaimana program Sekolah Ramah Anak (SRA). Dimana dari 68 SRA tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) yang telah terbentuk di Bumi Batiwakkal, ada 4 sekolah dalam tahun 2021 ini ditargetkan menjadi pilot project.
Hal itu diungkapkan Plt Kepala DPPKBP3A Berau Dahniar Ratnawati saat dijumpai diruang kerjanya Jl APT Pranoto baru baru ini.
“Jadi dari 4 yang ditargetkan, sudah ada 1 sekolah yang lakukan Memorandum of Understanding (MoU) yakni Sekolah Dasar Negeri (SDN) 02 Sambaliung,” ungkapnya.
Sementara 3 sekolah lainnya yakni SMAIT Ashowah, SD Katolik WR Supratman dan SDN 01 Teluk Bayur masih proses. Kenapa perlu waktu sebelum ditetapkan menjadi SRA, apalagi menjadi pilot project SRA karena sekolah tersebut harus sudah siap melaksanakan poin-poin yang tertera dalam SRA dan juga harus memenuhi syarat 3M (mau, mampu dan maju).
“Karena prinsipnya, melalui SRA ini diharapkan anak mempunyai hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar,” imbuh Dahniar.
Masih menurut pejabat yang juga merupakan Ketua Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Batiwakkal tersebut, tatkala sekolah itu menyatakan siap berarti kelayakan dan keamanan bangunan sekolah untuk peserta didik, mulai dari fasilitas, jumlah toilet yang rasional dengan jumlah siswa-siswi, hingga kebersihan makanan di kantin.
“Kita harus mewujudkan sebuah proses pendidikan, sebuah tempat di mana anak-anak mendapatkan ilmu baru dan pengetahuan baru, benar-benar ramah anak. Dari bangunannya, toiletnya, ruang kelasnya, termasuk juga dari papan tulisnya. Kemudian perpustakaan, laboratorium, hingga kantin,” paparnya.
Lanjut Dahniar, kurikulum pun saat telah menjadi SRA penyampaiannya di sekolah tidak boleh memberatkan peserta didik. “Dan tidak kalah pentingnya untuk menjadi SRA perubahan paradigma, pola pikir, sikap dan perilaku dari para kepala sekolah, guru dan peserta didik juga ada,” tutur Dahniar lagi.
Tambah Dahniar, SRA itu dimana suasana di sekolah harus ramah anak dan mampu menciptakan suasana yang nyaman. Misalnya, tidak ada tanaman berduri. Itu hanya contoh kecil, dan masih banyak yang lain, yang tertera dalam point-point SRA.
Karena sekolah perlu dikedepankan kembali sebagai ruang yang ramah bagi anak. Jangan sampai beranggapan SRA sebatas sekolah aman dari kekerasan akan tetapi makna sesungguhnya adalah sekolah yang aman, nyaman demi menghasilkan anak didik yang berkualitas. Itu sebabnya melalui SRA, sekolah harus mampu menciptakan suasana yang kondusif, sehingga anak merasa nyaman dan dapat mengekspresikan potensinya.
“Dalam hal SRA ini kita berharap sekolah bisa menjamin setiap anak tumbuh dan berkembang secara baik. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan mengedepankan lingkungan sekolah yang ramah bagi anak. Guna menciptakan sekolah yang bersih, aman, rapi, indah, inklusif, sehat, asri dan nyaman juga ciptakan interaksi positif,” Dahniar. (nht)
Editor : Redaksi
Publisher : Alfian (SK)