JAKARTA, Swarakaltim.com – Mengangkat topik penegakan hukum humanis dengan tagline “Tajam ke Atas, Humanis ke Bawah”, suasana diskusi ringan antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung sangat santai dan menyejukkan, belum lama ini.
Sebab sejatinya, bila berbicara mengenai penegakan hukum humanis, maka berbicara tentang kemanusiaan.
Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Dr Ketut Sumedana melalui press release “SIARAN PERS Nomor: PR – 487/001/K.3/Kph.3/05/2023” dan menerangkan bahwa Jaksa Agung RI Burhanuddin mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang (UU) RI Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana pada Pasal 53, diatur juga mengenai hak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup, terlebih lagi diperkuat dalam konstitusi negara kita yakni dalam UU Dasar RI 1945 Pasal 28A yaitu “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
“Hal ini menunjukkan bagaimana hak kemanusiaan sebagai hak dasar manusia sangat dijamin dan dilindungi oleh negara,” lanjut Jaksa Agung RI Burhanuddin.
“Maka dari itu, sebelum berbicara hukum terlalu jauh, harus memahami dahulu konteks kemanusiaannya,” ucapnya.
Jaksa Agung RI Burhanuddin menjelaskan bahwa dalam konteks kemasyarakatan dan kemanusiaan, ada adagium yang sangat populer dalam penegakan hukum yaitu ‘Salus Populi Suprema Lex Esto’ yakni keselamatan manusia adalah hukum tertinggi.
“Berdasarkan hal tersebut telah melahirkan bagaimana hukum tidak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan yang sering kita sebut sebagai penegakan hukum humanis,” imbuhnya.
“Dalam falsafah hukum, hukum ada untuk manusia, bukan untuk diputarbalikkan, hal ini berarti penegakan hukum dapat menjamin nilai yang sudah digali oleh pendiri bangsa yaitu Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kedaulatan Rakyat, dan Nilai Keadilan Sosial,” paparnya.
“Lalu seiring berkembangnya waktu, adanya penambahan nilai yakni Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Kemanfaatan,” sebutnya.
“Dan sistem nilai yang berubah dan berkembang ini membuat hukum tak boleh kaku dan hanya mengejar satu nilai saja seperti Nilai Kepastian Hukum atau Nilai Keadilan,” tuturnya.
Jaksa Agung RI Burhanuddin mengungkapkan bahwa hukum harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yaitu nilai kemanusiaan yang disebut dengan humanistik.
“Adanya mazhab hukum yang selama ini, dipelajari dalam dunia perkuliahan seperti hukum progresif (digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo), karena hukum hidup dan beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat dan di masa mendatang,” sambungnya.
Jaksa Agung menuturkan penegakan hukum humanis adalah penegakan hukum yang mampu menggali rasa keadilan dalam masyarakat (living law), karena hukum modern saat ini tidak terlepas dari nilai kemanusiaan.
“Meski demikian, hukum positif tidak dapat ditinggalkan dan justru tetap sebagai penguatan menjamin kepastian serta menjadi bukti hadirnya negara di tengah masyarakat karena memiliki perangkat, sarana, prosedur (tata laksana), dan bersifat mengikat bahkan memiliki sanksi,” urainya.
“Dan kehadiran Jaksa tidak sekedar hanya sebagai pelaksana (cerobong) UU, namun Jaksa harus berani mengambil sikap sebagai dinamisator dan katalisator,” pesannya.
“Penegakan hukum humanis harus beradaptasi dengan kebutuhan hukum saat ini, tidak pandang bulu, serta dapat diterima oleh masyarakat,” ujarnya.
“Maka untuk mendukung itu semua, perlu adanya program penegakan hukum yang berpihak pada masyarakat,” tegasnya.
Jaksa Agung mengatakan program penegakan humanis yang sudah ada saat ini seperti penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif, pendirian Rumah Restorative Justice dan Balai Rehabilitasi, Program Jaga Desa (Jaksa Garda Desa), serta Jaksa Menjawab, harus diefektifkan dan dikembangkan pelaksanaannya di tengah masyarakat.
“Dan seorang Jaksa harus hadir dan memberi manfaat, serta menjadi solusi di setiap permasalahan hukum masyarakat,” tegasnya.
“Adanya program penegakan hukum humanis tersebut menunjukkan bahwa program dibuat dengan kajian untuk kepentingan masyarakat yang nantinya bermanfaat dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian,” terangnya.
“Apabila kesadaran hukum masyarakat telah terbentuk, maka secara otomatis akan meringankan pekerjaan penegakan hukum di masa mendatang,” harapnya.
“Bahkan di beberapa negara maju dan aman, lembaga pemasyarakatannya dalam keadaan kosong yang menandakan bahwa penegakan hukum di negara tersebut berjalan dengan baik, begitupun sebaliknya,” ucapnya.
Harapan Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai penggagas penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif yang sudah mendapatkan legitimasi di forum Internasional berupa efektivitas dan implementasi restorative justice sebagai role model penghentian perkara di luar pengadilan, agar kedepannya peraturan mengenai keadilan restoratif didorong menjadi UU.
“Sebab hal ini, sangat penting dalam rangka penegakan hukum humanis dan kita menjadi salah satu barometernya di dunia, sehingga kita mendapatkan legitimasi secara formil dalam pelaksanaannya,” ungkapnya.
Diskusi ringan antara Jaksa Agung dengan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung ditutup dengan pesan Jaksa Agung yaitu bahwa tidak semua yang melakukan tindak pidana itu karena serakah dan jahat, namun bisa akibat faktor lingkungan dan hubungan sosial.
“Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban bersama untuk menciptakan lingkungan yang baik, sehat, dan bermartabat bagi kemanusiaan,” pungkasnya. (*/AI)