MINANGKABAU – Kemunculan perempuan sebagai pendendang saluang di Minangkabau bukan sekadar perubahan dalam seni pertunjukan, tetapi juga revolusi sosial yang halus namun mendalam. Tradisi yang selama berabad-abad dikuasai oleh laki-laki kini menjadi ruang di mana perempuan menemukan suara, ekspresi, dan keberanian.
Dari tepian sawah hingga panggung kota, suara mereka menggema, tidak lagi sekadar hiburan, tetapi pernyataan identitas dan kemandirian.
Dalam sistem matrilineal Minangkabau, perempuan memang memegang peran penting sebagai pewaris harta dan penerus garis keturunan. Namun, secara sosial, ruang gerak mereka dibatasi oleh norma-norma adat dan agama.
Dunia pertunjukan, terutama yang bersifat publik dan terbuka, dianggap “bukan dunia perempuan beradat.” Mereka diharapkan menjaga rasa malu (rasa malu adalah nilai moral sentral dalam adat Minang) serta menjaga martabat keluarga dan kaum.
Fuji Astuti (2004) menyebutnya sebagai “tabu sosial”, di mana perempuan dituntut untuk sopan, tunduk pada tatanan, dan tidak menonjol di ruang publik.
Namun sejarah selalu bergerak. Sejak tahun 1970-an, terutama pasca-pergolakan PRRI dan melemahnya struktur sosial lama, ruang perempuan mulai terbuka.
Faktor ekonomi yang sulit, perubahan sistem keluarga dari extended family ke nuclear family, serta meningkatnya urbanisasi menjadi pemicu penting. Perempuan Minang mulai mengambil peran dalam ranah ekonomi dan budaya, termasuk seni pertunjukan.
Dalam konteks ini, panggung saluang dan dendang menjadi arena baru bagi perempuan untuk menyuarakan dirinya, bukan dalam perlawanan, tapi melalui ekspresi yang lembut dan artistik.
Noni Sukmawati, peneliti budaya dari Universitas Andalas, mencatat bahwa melemahnya kontrol mamak terhadap kemenakan perempuan adalah salah satu kunci perubahan tersebut. “Keluarga mulai lebih longgar dalam memandang perempuan yang ingin berkiprah di bidang seni,” tulisnya.
Seni, yang dulu dianggap hanya hiburan laki-laki di pondok sawah, kini menjadi ruang bagi perempuan untuk menunjukkan kecerdasan sosial, keluwesan bicara, dan kepekaan terhadap isu-isu masyarakat.
Nama-nama seperti Mel Rasani, Mis Ramolai, dan Upiak Malai menjadi tonggak sejarah. Mereka bukan sekadar pendendang, tetapi simbol keberanian sosial. Lewat dendang mereka, kisah hidup rakyat kecil, cinta yang kandas, atau kritik sosial terhadap ketimpangan menjadi tema yang dibawakan dengan cerdas dan jenaka.
Dendang mereka tidak hanya menyentuh hati penonton, tapi juga menggugah kesadaran kolektif: bahwa perempuan juga bisa menjadi juru bicara budaya tanpa kehilangan martabatnya.
Perubahan ini juga berdampak pada bentuk pertunjukan. Jika sebelumnya bagurau saluang lebih bersifat monolog, seorang pendendang laki-laki melantunkan pantun-pantun sindiran diiringi tiupan saluang, maka kini gaya dialog dan improvisasi berkembang.
Pendendang perempuan menghadirkan humor, kelenturan emosi, dan daya tarik estetika yang lebih variatif. Mereka membawa kehangatan dan keintiman ke atas panggung, menjembatani jarak antara pemain dan penonton. Seni bagurau pun bertransformasi, dari ruang ritual menjadi panggung sosial yang egaliter.
Namun, perubahan ini tidak sepenuhnya mudah diterima. Sebagian kelompok adat konservatif menilai kehadiran perempuan di panggung sebagai bentuk pelunakan norma adat dan “pengaburan nilai malu.” Meski demikian, banyak pula tokoh adat yang melihatnya sebagai bagian dari dinamika budaya.
Seperti yang dikatakan salah seorang penghulu di Tanah Datar, “Kalau perempuan menari di atas adat, itu memalukan. Tapi kalau perempuan berdendang dalam adat, itu menghidupkan adat.”
Pernyataan ini menggambarkan pergeseran cara pandang masyarakat Minangkabau, bahwa adat bukanlah tembok yang membatasi, melainkan ladang yang menumbuhkan nilai. Selama seni dijalankan dengan menghormati norma kesopanan dan pesan moral, maka ia justru memperkaya kebudayaan itu sendiri.
Kini, di era digital, pendendang perempuan tidak lagi terbatas pada panggung fisik. Mereka hadir di media sosial, di YouTube, dan di acara televisi lokal, menjangkau audiens lintas daerah bahkan lintas negara.
Generasi baru pendendang seperti Dwi Ratna dan Rani Suherman membawa napas modern ke dalam dendang tanpa menghapus akar tradisinya. Mereka memadukan saluang tradisional dengan musik elektronik, menjadikan seni Minang terasa segar dan relevan bagi generasi muda.
Transformasi ini memperlihatkan bahwa seni tradisi tidak pernah statis. Ia hidup, beradaptasi, dan terus berbicara tentang perubahan masyarakatnya. Perempuan pendendang hari ini bukanlah “pelanggar adat,” melainkan penerus nilai Minang yang sejati, mereka belajar dari leluhur, menyesuaikan diri dengan zaman, dan menghidupkan warisan budaya dengan cara baru.
Bagurau saluang dan dendang kini bukan lagi milik laki-laki semata. Ia menjadi ruang bersama, ruang di mana perempuan tidak hanya tampil, tetapi berbicara, mengajar, dan mewariskan nilai. Suara mereka adalah suara perubahan yang lembut namun berakar kuat di bumi Minangkabau.
Dan di balik setiap tiupan saluang dan bait dendang, masyarakat mendengar bukan sekadar nyanyian, tetapi denyut zaman yang berubah bersama suara perempuan.
Penulis : Mutia Fadillah