Uang Panggilan dan Rasa Hormat: Filosofi di Balik Tradisi Badantam Pariaman

PARIAMAN – Hari baralek di Pariaman selalu berbeda. Dari pagi, suara rebana dan dendang Minang terdengar di udara.

Di halaman rumah pengantin, orang datang bergelombang, membawa amplop, dompet emas, atau perhiasan kecil. Itulah tradisi badantam, ritual sosial yang menyatukan masyarakat dalam pesta penuh rasa hormat dan kebersamaan.

Uang Panggilan, Tanda Datang dengan Hati

Dalam masyarakat Pariaman, uang panggilan bukanlah sumbangan biasa. Ia disebut “panggilan” karena undangan adat dianggap mengandung tanggung jawab moral, siapa yang dipanggil wajib datang, dan siapa yang datang wajib ikut berbagi.

Biasanya, jumlah minimal uang panggilan telah disepakati di setiap kampung sekitar Rp25.000. Namun bukan nominalnya yang utama, melainkan niat untuk hadir dan menghormati tuan rumah.

Bagi banyak orang Pariaman, memberi di bawah batas itu bukan soal miskin atau kaya, tetapi soal etika. “Kalau datang kosong, sama saja menodai marwah diri,” kata Uni Yarni, salah satu warga Sungai Limau.

Badantam menjadi cara halus untuk mengajarkan rasa tanggung jawab sosial, bahwa hidup bersama harus saling menopang, apalagi dalam momen sakral seperti pernikahan.

Simbol Dukungan dan Persaudaraan

Keluarga dekat biasanya membawa lebih dari sekadar uang. Mereka membawa emas atau perhiasan untuk diserahkan kepada mempelai, sebagai bentuk restu dan partisipasi. Simbol ini memperkuat tali kekerabatan dan menegaskan pentingnya dukungan keluarga besar dalam rumah tangga yang baru dibangun.

Selain mempererat hubungan, badantam juga berfungsi praktis, membantu keluarga penyelenggara menutupi biaya pesta. Pernikahan Minang terkenal meriah, dengan tamu ratusan orang dan sajian berlapis-lapis. Melalui tradisi badantam, semua beban itu menjadi ringan karena ditanggung bersama.

Baralek sebagai Ruang Sosial

Hari badantam adalah hari ketika seluruh nagari terasa hidup. Tamu datang bukan hanya untuk makan dan memberi, tetapi juga untuk bersilaturahmi. Di meja panjang, tawa dan cerita bertemu. Anak-anak berlarian, para ibu sibuk menyusun hidangan, sementara para ninik mamak duduk di bawah tenda memberi nasihat kepada pasangan pengantin.

Suasana seperti ini memperlihatkan bahwa baralek di Pariaman tidak hanya tentang pesta, tapi tentang hidup bersama dalam satu komunitas. Setiap tawa, setiap amplop, setiap suapan nasi, adalah bagian dari perayaan kemanusiaan.

Nilai yang Tak Lekang oleh Waktu

Kini, meskipun sebagian masyarakat sudah hidup modern dan berpindah ke kota, semangat badantam tetap hidup. Bahkan perantau Pariaman yang tinggal di Jakarta atau Batam sering mengirimkan uang panggilan lewat transfer, hanya agar tetap merasa terlibat dalam pesta di kampung halaman. Itulah bukti bahwa nilai-nilai budaya tidak mudah hilang, mereka hanya beradaptasi.

Tradisi badantam mengajarkan satu hal penting, bahwa memberi adalah cara paling sederhana untuk mencintai. Dalam budaya Minangkabau yang menjunjung falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, memberi bukanlah kehilangan, melainkan bentuk keberkahan.

Dan di setiap pesta baralek, amplop kecil berisi uang panggilan itu terus berpindah tangan, dari generasi ke generasi sebagai simbol kasih, marwah, dan gotong royong yang tak lekang oleh zaman.

Penulis : Muhammad Fawzan

www.swarakaltim.com @2024