SAMARINDA, Swarakaltim.com – Masyarakat Adat Paser yang tergabung dalam komunitas “Awa Kain Naket Bolum” berharap tidak lagi mengalami peristiwa kelam seperti yang terjadi pada masa lalu terkait pengambilalihan lahan oleh perusahaan perkebunan negara. Warga menegaskan keinginan mereka agar hubungan antara masyarakat adat dan pihak perusahaan kini dapat berjalan adil serta menghormati hak-hak tanah ulayat.
Komunitas adat Awa Kain Naket Bolum mencakup empat desa di Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, yakni Desa Lembok, Desa Pait, Desa Sawit Jaya, dan Desa Pasir Mayang. Perwakilan masyarakat adat, Syahrul M, menyampaikan bahwa warga khawatir kejadian masa lalu yang pernah melukai orang tua mereka dapat terulang kembali.
“Namun kami sangat tidak berharap luka lama yang dirasakan oleh orang-orang tua kami terakhir itu menjadi luka baru bagi kami,” kata Syahrul, Senin (10/11/25).
Ia mengingatkan peristiwa pengambilalihan lahan yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI pada tahun 1982. Saat ini, lahan tersebut dikelola oleh PTPN IV Regional V Kaltim.
Syahrul mengisahkan, pada masa itu, proses pembukaan lahan dilakukan dengan pengawalan ketat aparat bersenjata.
“Proses pengambilan saat itu di tahun 1982 itu di zaman Orde Baru. PT PN saat itu dikawal oleh aparat keamanan berseragam dengan membawa senjata laras panjang untuk menakuti orang-orang tua kami yang menolak pembukaan lahan itu,” tuturnya.
Ia menambahkan, masyarakat yang menentang pembukaan lahan ketika itu bahkan mengalami intimidasi.
“Orang tua kami dikatakan PKI, dianggap melawan pemerintah dan menghalangi pembangunan. Bahkan aparat saat itu menembakkan senjatanya untuk menakuti warga,” ungkapnya.
Menurut Syahrul, tindakan serupa dikhawatirkan terulang kembali setelah dirinya kini menghadapi proses hukum. Ia mengaku dikriminalisasi dengan tuduhan melanggar undang-undang perkebunan karena mendirikan pondok kecil berukuran 3×4 meter dan memasang baliho di area yang disengketakan.
“Padahal kami hanya membangun pondok beratap terpal dan memasang baliho. Itu yang disangkakan kepada kami seolah-olah menguasai lahan perkebunan yang sah,” jelasnya.
Syahrul menilai tuduhan tersebut tidak berdasar karena masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sudah berakhir sejak 31 Desember 2023.
“Sementara kami melakukan ritual adat atau aksi lapangan pada tanggal 21 April 2025, hampir dua tahun setelah HGU itu berakhir,” ujarnya.
Ia menyebut ancaman hukum yang diarahkan kepadanya adalah pidana penjara empat tahun dan denda Rp4 miliar sesuai undang-undang perkebunan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, lahan perkebunan milik PTPN di wilayah Kabupaten Paser terbagi di beberapa area, di antaranya Kebun Tabara seluas lebih dari 7.000 hektare, Kebun Tajaki di Kecamatan Longkali, serta Kebun Inti Pendawa di Muara Komam dan Muara Pasir. Adapun luas area yang diklaim sebagai tanah adat masyarakat Awa Kain Naket Bolum sekitar 2.000 hektare.
Di wilayah tersebut, sebagian besar warga bekerja sebagai petani dan buruh, sementara sebagian kecil memiliki kebun sawit pribadi berskala kecil. Warga berencana mengelola lahan seluas 2.000 hektare itu sebagai tanah ulayat komunal yang dikelola bersama secara adat untuk kepentingan ekonomi masyarakat.
“Kami tidak ingin konflik ini menjadi luka baru. Kami hanya ingin hak adat kami dihormati dan masyarakat bisa hidup tenang serta mandiri,” pungkas Syahrul.(DHV)