Petinggi : Want Prestasi PT APN Harus Rp 1 Triliun
MAHAKAM ULU, Swara Kaltim – Peradilan adat menjadi semakin penting di tengah situasi negara Indonesia yang belum sepenuhnya mampu menyediakan layanan penyelesaian perkara melalui jalur formal sampai ke wilayah kampung terpencil di sejumlah wilayah kabupaten/kota di pulau Kalimantan.
Hal itu yang dirasakan masyarakat Adat Kampung Matalibaq, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu). Pasalnya tuntutan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Barito Pasific Group/PT TYSP/PT Anangga Pundi Nusa (APN), yang telah merusak situs sejarah berharga bagi Uma Telivaq, masih ada yang belum tereliasasikan.
Petinggi Kampung Matalibaq Isodorus Huvang Paran mengatakan, pengrusakan bukti situs sejarah Uma Tutung Kalang yang berdiri sejak tahun 1907, berupa pagar batas yang terbuat dari kayu, atau biasa disebut suku dayak Uma Telivaq yaitu Tasak.
“Situs sejarah itu kegunaannya untuk menghalau musuh agar tidak masuk kewilayah perkampungan dan rumah penduduk. Sebab, jaman dahulu ada tradisi potong kepala atau yang disebut Pekayau. Jadi situs itu yang dirusak oleh perusahaan pada tahun 1997,” ungkap Huvang Paran kepada awak media di Sendawar, Rabu (11/9/2019).
Ditanya, apa saja tuntutan masyarakat adat kepada perusahaan. Ia mengatakan dari 14 pasal tuntutan melalui nilai denda adat sebesar Rp 8 miliar yang telah diakui dan ditandatangani oleh Direktur PT APN pada 26 November 1998. Namun, hingga saat ini terdapat 3 pasal tuntutan yang belum teriliasasikan oleh perusahan tersebut.
“Sudah 20 tahun kita ditelantarkan. Oleh sebab itu, kami memohon kepada pemerintah, mulai dari tingkat Kabupaten Mahulu, Provinsi Kaltim dan Pemerintah Pusat, untuk menindaklanjuti tuntutan kerugian moral masyarakat adat sebesar Rp 1 Triliun. Hal itu merujuk pada kesepakatan kedua oleh PT APN dengan masyarakat adat pada 23 Juni 1999 di Site Laham,” tuturnya.
Ia membeberkan, perusahaan telah melanggar aturan UU RI, yang tidak sesuai dengan surat putusan Kementerian Kehutanan RI nomor : SK.403/Menhut-II/2011 tanggal 21 Juli 2011 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 331/KPTS-II/1998, tanggal 27 Februari 1998, tentang pemberian hak pengusahaan HTI pola Transmigrasi kepada PT APN.
Kata Sleman panggilan akrabnya itu mengungkapkan, lebih parahnya lagi, kawasan hutan adat Tana Pera/Mawa seluas 8.400 hektare terletak di Sungai Bengeh dibabat habis tampa musyawarah dan mufakat kepada masyarakat adat Uma Telivaq, dijadikan lahan HTI dan dibangun Satuan Pemukiman (SP) karyawan yang saat ini disebut Tri Pariq Makmur.
“Tidak hanya itu, bahkan bekas kampung atau lembo Uma Tutung Kalung pada jaman Hipui Ding Luhung asal Uma Telivaq, terletak di Sungai Meritiq dengan luas lahan 4.600 hektare, juga dijadikan lahan HTI dan dibangun SP 2 yang disebut Wana Pariq, sehingga terdapat 14.800 hektare luas lahan pada dua lokasi tersebut.
Lanjut dia, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa yang berlaku waktu itu, syaratnya untuk memisahakan desa dari desa, harus ada keputusan desa Induk. Sementara tidak ada secarik surat keputusan yang di keluarkan oleh Hendrikus Hibau Bong selaku Petinggi Kampung Matalibaq yang pada saat itu masih Kabupaten Kutai Kartanegara.
“Hasil rapat umum dengan masyarakat pada 26 Agustus 2019. Hendrikus Hibau Bong yang saat ini menjadi Kepala Adat besar Matalibaq, telah memberi pernyataan, bahwa tidak pernah menandatangani surat mengenai untuk penerbitan sertifikat lahan maupun surat kuasa pada pemukiman tersebut. Sehingga terdapat penerbitan sertifikat lahan yang tidak jelas,” tegasnya.
Sambung dia, jika 3 pasal tuntutan masyarakat adat belum juga direalisasikan sesuai Want Prestasi PT APN sebesar Rp 1 Triliun. “Jika tidak, maka masyarakat adat Uma Telivaq, akan menolak Enclave lahan Tri Pariq Makmur dan Wana Pariq,” tukasnya.
Dalam waktu dekat, pihaknya akan melayangkan surat pernyataan sikap terkait hal tersebut kepada pemerintah. Selain itu juga, telah meyiapkan sejumlah dokumen sejarah terkait asal usul Uma Telivaq saat masuk dan menetap dalam anak Sungai Mahakam yaitu Sungai Pariq pada tahun 1815 tepatnya satu abad sebelum kemerdekaan RI tahun 1945 silam.
“Atas nama masyarakat Adat Kampung Matalibaq (Uma Telivaq), kami akan layangkan surat pernyataan sikap terkait hal itu kepada Gubernur Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Kantor BPN Kaltim, hingga surat tembusan ke Presiden RI di Jakarta. Kementrian Desa dan Transmigrasi RI, Bupati Mahakam Ulu, Kantor BPN daerah Kutai Barat, DPR Kaltim dan DPRD Mahulu,” pungkasnya. (iyn)