Putra Kaltara Punya Cerita (1) Dari Upuk Utara Kalimantan Meraih Mimpi Diperantauan

Putra Kaltara Punya Cerita (1) Dari Upuk Utara Kalimantan Meraih Mimpi Diperantauan
Putra Kaltara Punya Cerita (1) Dari Upuk Utara Kalimantan Meraih Mimpi Diperantauan

//foto.Narasumber dalam tulisan ketika di suatu tempat.ist//

SWARAKALTIM.COM – SANG SURYA pelan-pelan menunjukkan sinarnya dari upuk timur. Cerah merekah bersiap menyebar benih-benih keindahan dan semangat bagi anak cucu Adam yang siap menggapai mimpi.

Singkat kisah, waktu itu, kira-kira Sabtu, tahun 1993 di Kota Tepian Samarinda. Sinar matahari mulai membumbung tinggi di langit cerah. Pun embun pagi sedikit demi sedikit mulai pudar menyercah diudara terhirup dengan mahluk hidup lainnya.

Aku pun bergegas memasukkan pakaianku dalam tas. Ya cukup untuk 2 hari menginap. Menginap di mana. Yang pasti tempat keluarga. Tempat itu sangat indah waktu aku kecil. Selain indah, memang ada sepupuku yang sangat akrab denganku semenjak kecil. Dialah teman mainku selama aku di sana. Tak ada dia. Aku tak ke sana. Rambutnya yang ikal bergelombang, kulitnya yang putih, senyumnya yang manis. Dia ku anggap saudaraku. Dia yang paling tua diantara sepupu yang lainnya. Kak Mentari aku memanggilnya. Yahh, sungguh menyenangkan masa-masa itu.

Gg Nunukan, Jalan Ir Soetami Samarinda. Itu alamatnya, tempat Julak atau Acil ibuku tinggal bersama keluarga besarnya. Rumahnya yang cukup besar. Bisa menampung kira-kira 15 orang dalam rumah itu. Dialah Keluarga Besar Kai Syukur (Alm) dan Nenek Nur (Alm) aku menyebutnya.

Sesampai di rumah itu. Banyak keindahan ku rasa. Banyak cerita yang mungkin tak bisa kugambarkan maupun ku tulis lebih banyak. Waktu itu, usiaku masih 11 atau 12 tahun, ya seusia sekolah dasar. Begitu pun kakak sepupuku itu, dia setahun tua dariku. Empat dan lima tahun tua dari kedua adik kandungnya.

“Ya itulah kenangan indahku dan mungkin orang yang juga pernah tinggal di rumah itu sama merasakannya,” gemingku dalam hati.

Banyak kisah semangat dari rumah Kai Syukur dan Nenek Nur ku dapat. Apa itu, semangat paman-pamanku yang gigih merantau dari Kabupaten Nunukan kini terpisah menjadi Provinsi Baru Kalimantan Utara di kampung orang Kota Tepian Mahakam Samarinda.

“Kalau kau tak serius, mau jadi apa kau,” ucap Om Budi akrab kami para keponakan memanggilnya dikala itu. Saat itu, dia sedang berbincang (cerita) dengan sepupunya Ma’il dan Ahim. Maklum, ketiga om ini memang tinggal bersama satu atap di rumah Kai (Kakek) Syukur. Mereka adalah perantauan dari Nunukan. Ma’il dan Ahim saat itu melanjutkan pendidikan tinggi di Politeknik Negeri Samarinda di Samarinda Seberang.

Ma’il dan Ahim selalu bersama ketika turun kuliah, seingatku. Tak ada kendaraan, jalan kaki pun dilalui. Ada uang, Naik angkot. Melintasi Jembatan Mahakam menuju kampus. Itulah rutinitasnya setiap hari hingga mereka lulus.

“Entah kapan mereka lulus, aku terus mencari mereka ingin rasanya cerita banyak ketika bertemu,” gumamku dalam hati.
Ah, itu cerita Om Ma’il dan Om Ahim. 

Kembali Om Budi. Pesannya memang sedikit menyekik tapi penuh makna bagi kedua adik sepupunya itu. Wajar, karena Om Budi paling tua dari mereka berdua.

“Sudahlah, jangan patah semangat. Meski diperantauan. Uang mungkin tak banyak. Tapi bagaimana kita bisa bertahan hidup dengan ilmu yang kita punya. Itu yang penting,” sambung Budi sembari menyeruput kopinya di atas loteng rumah nenek bersama kedua pamanku itu.

Rutinitas ini, biasa ketika malam minggu mereka suka ngobrol sampai larut malam. Karena hiburan juga tak banyak, tak seperti sekarang serba smartphone atau android. Televisi pun sudah beragam siarannya.
Ya wajar, mereka saat itu masih jomblo belum ada pacar, seingatku.

Hari-hari berlalu semakin cepat. Budi pun semakin matang pemikirannya. Mungkin karena tuntutan hidup yang harus memaksanya untuk berusaha. Hingga iya pun mengajar sembari melanjutkan pendidikannya di IKIP PGRI Samarinda Jurusan Penjaskes.

Budi tak pernah lelah, turun mengajar juga kuliah. Budi mengawali pekerjaannya sebagai tenaga pengajar honor di MTs Mujahidin Sungai Kunjang Samarinda.
Dari, MTs itu dia terus berjuang untuk meraih terbaik dalam hidupnya. Tak putus asa dan malas. Dia tahu saat itu diperantauan. Apa pun harus dilakukan meski pahit.

Sorenya dia pulang, lanjut mencuci piring, dan kadangkala membantu nenek memasak di dapur. Itulah rutinitasnya setiap hari.
“Kita merantau di tempat orang. Ya baik-baik dan mengerti dengan orang yang telah memberikan kita tempat tinggal,” pesan Om Budi kepadaku sembari aku juga membantu mencuci piring di dapur nenek.

Seiring waktu. Budi pun mempersunting gadis perawan berdarah Tanah Jawi. Dia pun memberanikan diri membeli satu unit motor setengah pakai Alfa Jenis Yamaha seingatku ketika itu. Guna dimanfaatkan untuk bekerja maupun sehari-harinya, setelah dia berumahtangga.

Kini dia dikarunia dua anak yang cantik dan pintar. Sekarang menjalani pendidikan tinggi sesuai keinginan anak itu masing-masinh. Kisah sedih itupun terus dikenang Budi hingga kini dan nanti.

Buah kerja keras itupun kini tercapai, tak pernah ada kata menyerah. Terus berupaya, ikhtiar, menghargai orang tua, tak pernah sombong dan selalu berdoa. Itu pesannya. Dan membantu yang lemah.

Budi pun telah meraih mimpinya menjadi seorang abdi negara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Guru SMP Negeri di Wilayah Pulau Atas Samarinda Ilir. Dia pun menjabat Wakil Kepala Sekolah di sekolah itu. Sembari mengajar pendidikan sesuai dengan bidangnya Pendidikan Jasmani dan Kesehatan atau dikenal Olahraga.

“Dari Upuk Utara Kalimantan Meraih Mimpi Diperantauan”.(tim/sk.Penulis : Kerabat Yang Menjadi Sumber Kisah. Nama dalam tulisan samaran)

Loading