Patologi Birokrasi

Kelompok 2:
Audry Azhari Ramadhani 2202026053
Fenni Amelia 2202026069
Dhia Fachirah Chairunnisa 2202026055
Geby Sumarlin 2202026105
Muhammad Raihan Fahreza 2202026102
Raizha Rivaldo Pranata 2202026057
Fatturrahman 2202026072
Asrany Ozy R 2202026058
Shalma Aisyah MPF 2202026100
Muhammad Nur Alamsyah 2202026062
Andini Salsabila F 2202026056
Winola Ashar 2202026059
Oktavianti Putri 2202026093
Muh Ricky Ramadhani 2202026101

Swarakaltim.com – Di Indonesia Permasalahan birokrasi di Indonesia hingga kini, masih belum kunjung usai dan kian “rumit” seperti yang disebutkan sendiri oleh Jokowi yang dikutip dari DetikNews pada Juli 2024.

Jelas, birokrasi merupakan topik yang menarik untuk ditelisik hingga kini. Hal itu semakin memperjelas bahwa penyakit birokrasi yang ada hingga saat ini seperti mengakar dan menjalar sampai pada situasi yang memprihatinkan.

Kenyataan birokrasi yang harusnya sebagai alat pelumas roda pemerintahan dalam menjalankan peranannya, terjadi berbagai hambatan yang disebabkan oleh perilaku para aparatur birokrasi itu sendiri, penyakit hambatan ini dalam birokrasi dinamakan sebagai patologi birokrasi.

Patologi birokrasi sendiri merupakan penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan, dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.

Pemerintah dan seluruh aparatur yang dikenal dengan birokrasi memiliki posisi yang dominan dalam menentukan kebijakan, sehingga birokrasi memiliki peran krusial dalam menentukan proses administrasi dalam mewujudkan tujuan pembangunan.

Sejumlah masyarakat keluhkan ragam masalah yang terjadi pada pelayanan publik. Menurut Survei Populi Center, masalah utama layanan publik yang paling banyak dikeluhkan adalah persyaratan berbelit. Itu dikeluhkan 11,4% masyarakat.

Kemudian, sebanyak 11,3% responden mengatakan waktu pelayanan yang lambat menjadi masalah terbesar lainnya dalam pelayanan publik. Lalu, ada 9,7% responden yang menilai bahwa pelayanan publik kurang transparan.

Keluhan masyarakat lainnya terhadap layanan publik di dalam negeri, yaitu, birokrasi yang berbelit 9,3%, sarana dan prasarana yang tidak memadai 8,6%, biaya mahal 8,4%, pelayanan tidak sesuai 6,2%, pungutan liar 4,8%, ketidakjelasan prosedur 3,8%, tidak responsif terhadap pengaduan (3,6%), kualitas/kompetensi SDM rendah (3%), dan perilaku pelayanan kurang ramah (2,7%). Birokrasi beserta para aparaturnya dengan mindset kekuasaan, dimana penyelenggara pelayanan masih beranggapan bahwa aparatur birokrat sebagai penguasa bukan sebagai penyedia layanan bagi masyarakat.

Imbasnya pelayanan publik belum berjalan secara prima. Aparatur negara pada sejatinya harus memiliki pemahaman mengenai patologi birokrasi sehingga dapat dicegah serta diobati guna proses pencapaian tujuan pembangunan dapat terwujud.

Lalu, mengapa patologi birokrasi sudah mengakar dan mengurangi pelayanan publik prima yang seharusnya diterima oleh masyarakat? Apa yang menyebabkan patologi birokrasi ini menjadi gejala di Indonesia saat ini? Mari kita telisik lebih dalam lagi mengenai patologi birokrasi ini. Faktor yang mempengaruhi terjadinya patologi birokrasi baik secara internal maupun eksternal.

Dalam faktor internal yang sangat berperan yaitu morality yang melekat dalam diri masing-masing aparatur negara (individu), kepemilikan moral yang ada pada diri masing-masing aparatur akan sangat berpengaruh terhadap kinerjanya. Faktor eksternal munculnya patologi birokrasi antara lain adalah unsur budaya organisasi, sistem atau prosedur, pelaksanaan sanksi atau hukum, dan kepemimpinan.

Adapun penyebab lainnya baik oleh pihak masyarakat maupun birokrat diantaranya tidak mampu menjabarkan kebijaksanaan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa berfikir, kebingungan, sogok, mutu hasil pekerjaan rendah, kedangkalan, ketidaktepatan tindakan, inkompetensi, sikap ragu-ragu, bekerja tidak produktif, ketidakrataan, dan stagnasi (2017). Fred W. Riggs (1996) menyebutkan patologi birokrasi di negara-negara berkembang terjadi karena intervensi pejabat negara yang seharusnya tidak dilakukan, intervensi pejabat negara yang berlebihan menyebabkan birokrasi gagal melayani kepentingan umum sebagaimana mestinya

Perjalanan birokrasi di Indonesia berkaitan erat dengan budaya bangsa dan sangat dipengaruhi oleh permasalahan kultur yang ada. Budaya dan kebiasaan-kebiasaan tersebut yang sulit untuk diubah karena berkaitan erat dengan aspek moralitas, hal tersebut yang menjadi awal munculnya gejala dari patologi birokrasi.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa fenomenanya cenderung ke arah patronase, dimana timbulnya sebuah pola yang bersifat saling memanfaatkan dan saling menguntungkan atau yang disebut simbiosis mutualisme.

Adanya sifat simbiosis mutualisme yang terjadi di dalam birokrasi pemerintahan Indonesia dapat berakibat pada timbulnya sebuah hubungan atau relasi kekeluargaan di dalam tubuh pemerintahan.

Realita ini mengesampingkan kualitas dan profesionalisme sehingga posisi-posisi utama tidak benar-benar ditempati oleh sumber daya manusia terbaik, melainkan oleh mereka yang memiliki hubungan meski tidak memiliki kemampuan.

Pada akhirnya aparat tersebut sebagai seorang pelayan masyarakat tidak berkembang dengan baik, sehingga timbul patronase di mana aparatur birokrat hanya melayani kepentingan pribadi sehingga kepentingan publik menjadi terbengkalai.

Hal ini menurut Blau dalam Bakti & Amin (2019), terjadi karena sudah terbangun relasi pertukaran sosial tidak seimbang sehingga klien hanya dapat mempersembahkan kepatuhan kepada patronase yang sudah berjasa meluluskannya sebagai ASN.

Sehingga budaya pungli, sogok menyogok, lambatnya pelayanan, prosedur yang berbelit-belit, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi kebiasaan bagi bangsa Indonesia, yang membuat usaha dalam menciptakan citra birokrasi yang bersih, efektif, dan efisien tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.

Bahkan masyarakat merasakan dampak dari patologi birokrasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan, hal ini menunjukkan kondisi empirik citra birokrasi yang sangat buruk dan negatif (Dedeng Yoesoef Maolani et al.,2022).

Solusi Pendek Etika birokrasi ialah fokus inti dari para pelaksananya, karena hal ini akan menentukan bagaimana Indonesia mampu menghadapi permasalahan birokrasi pemerintahan yang kompleks di masa periode birokrasi berlaku.

Kurangnya solusi yang jelas untuk masalah tersebut sering kali menyebabkan tindakan sewenang-wenang sendiri, dan perselisihan antara pihak berwenang dapat mengakibatkan perselisihan. Peningkatan etika birokrasi dapat bermanfaat, terutama dalam fungsinya memberikan

“panduan politik” terhadap praktik birokrasi sebagai sarana penyelesaian permasalahan yang dihadapi birokrat. Seiring dengan perubahan dan dinamika yang terjadi di bidang birokrasi, maka birokrat harus melakukan penyesuaian untuk menyikapi perubahan lingkungan.

Menerapkan kembali penyesuaian ini membutuhkan wawasan yang luas. Penerapan etika birokrasi semakin mendesak dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan birokrasi yang beretika diperlukan perubahan sikap dan perilaku para birokrat.

Faktanya, gaji pegawai negeri yang tidak memadai, pegawai yang tidak sesuai keahliannya dan lemahnya pengawasan dalam birokrasi juga berkontribusi terhadap pelanggaran etika; seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih banyak terjadi. Lemahnya etika di birokrasi Indonesia merupakan ancaman serius terhadap upaya menata kembali birokrasi yang sehat dan minimal patologis.

Solusi Panjang Di Indonesia, masih terdapat beberapa kendala dalam optimalisasi pelayanan publik, meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk melaksanakan reformasi birokrasi.

Salah satu tantangan terbesarnya adalah resistensi birokrasi terhadap perubahan dan inovasi. Beberapa birokrat mungkin enggan mengubah cara mereka bekerja atau mengalami kehilangan kekuasaan. Dalam beberapa kasus,budaya kerja yang kaku dan prosedur yang rumit dapat menghambat efisiensi dan inovasi dalam birokrasi.

Dalam menghadapi revolusi industri yang dipacu oleh kemajuan teknologi, birokrasi memiliki peran yang sangat penting untuk reformasi individu dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang relevan, berkompeten, dan diperlukan dalam dunia modern di Indonesia saat ini.

Sejalan dengan Abubakar (2023) pengembangan kualitas individu mencakup pengembangan keterampilan baru yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang terus berkembang.

Individu secara terus-menerus harus meningkatkan keterampilan dan pengetahuan untuk tetap relevan dan kompetitif dalam era ini. Selain itu, aspek-aspek seperti ketahanan mental, adaptabilitas, dan kemampuan untuk berkolaborasi dengan teknologi juga menjadi kunci untuk berhasil menghadapi perubahan yang cepat.

Wulandari (2023) menyebutkan adopsi nilai-nilai etika moral dalam sikap mental dan perilaku SDM aparatur menjadi landasan utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menghadapi modernitas, birokrasi harus mampu menginternalisasi nilai-nilai tersebut sehingga mampu merespons tuntutan publik dengan optimal.

Dengan demikian, SDM aparatur tidak hanya menduduki posisi yang baik secara kelembagaan, tidak hanya itu, tetapi juga memiliki kekuatan mental yang diperlukan untuk menghadapi tantangan yang mungkin terjadi, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Birokrasi pada dasarnya menegaskan posisinya sebagai lembaga yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat.

Paradigma ini mendorong setiap aparatur negara, sebagai birokrat publik, untuk memiliki pemahaman yang mendalam dan kesadaran yang tinggi tentang cara kerja terbaik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam menjalankan tugas sebagai pelayanmasyarakat, etika profesi dan moralitas menjadi landasan yang tak terpisahkan.

Kapasitas pribadi ini tidak hanya mencerminkan sistem nilai masyarakat; mereka juga tahu bahwa teknologi seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk menguntungkan diri sendiri secara ilegal.Dalam situasi sepert iini, sangat penting untuk melihat teknologi sebagai alat untuk mencapai keadilan dan keberlanjutan masyarakat. Abubakar, A. (2023). Measuring Organizational Resilience: a Case Study in Digital Disruption. Ultima Management, 15(2), 212-225.

Wulandari, S. (2023). Penguatan Reformasi Birokrasi Di Indonesia Menuju Era Society 5.0. Jurnal Public Relations (J-PR), 4(2), 51-61. Dedeng Yoesoef Maolani, Amalia Purnama Sari, Arindhini Amalia3, & Cyntia Octavelia Sholeha. (2022). Patologi Birokrasi Dan Upaya Pencegahannya Untuk Menciptakan

Birokrasi Yang Efisien. Jurnal Dialektika: Jurnal Ilmu Sosial, 19(1), 47–56. https://doi.org/10.54783/dialektika.v19i1.63

 

Loading

Bagikan: