Sumber Gambar : Jasindo.co.id
Swarakaltim.com – Ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan merupakan pilar-pilar yang menjadi dasar dari ketahanan pangan. Setiap pilar tersebut berperan sebagai indikator pencapaian bagi ketahanan pangan dan harus dipernuhi untuk mewujudkan Indonesia yang makmur. Cara-cara pengimplementasian setiap pilar tersebut, harus dibuat dengan mempertimbangkan aspek-aspek dalam ketahanan pangan, seperti aspek ekonomi dan teknologi, politik dan hukum, sosial dan budaya.
Masalah-masalah yang terjadi pada setiap pilar ketahanan pangan disebabkan oleh karena adanya masalah-masalah di aspek-aspek tersebut. Setiap aspek bersifat coexist (saling ada), artinya keberadaan setiap aspek sama-sama penting. Aspek politik dan hukum yang sukses tidak akan membuat tantangan dari pilar ketahanan pangan terpenuhi, jikalau pada praktiknya aspek-aspek lainnya seperti ekonomi dan teknologi, serta sosial dan budaya masih bermasalah.
Di Indonesia, masalah yang paling umum dihadapi adalah diversifikasi pangan ber-kabohidrat yang masih belum bisa dimaksimalkan. Hal ini cukup ironis mengingat Indonesia memiliki potensi besar untuk memaksimalkan diversifikasi pangan khususnya dalam lingkup pangan penghasil energi dikarenakan pangannya yang beranekaragam, sebut saja jagung, singkong, ubi, sagu, pisang, dan kentang.
Meski dihadapkan dengan situasi pangan yang beranekaragaman, konsumsi pangan-pangan berkaborhidrat yang ada di Indonesia cenderung timpang. Dibuktikan oleh data dari Badan Pusat Statistik yang melaporkan bahwa rata-rata konsumsi perkapita bahan makanan penting periode 2019-2023 yang menunjukkan bahwa skor konsumsi beras melewati 1.500 selama periode tahun tersebut. Sebagai perbandingan, bahan pangan lain seperti jagung bahkan tidak bisa mencapai 0.100 selama periode tahun tersebut.
Normalisasi Beras sebagai Makanan Pokok
Tak dapat dipungkiri, bahwa kejayaan Indonesia dalam bentuk swasembada beras di era orde baru menjadi salah satu alasan dari kebiasaan sehari-hari masyarakat Indonesia yang konsumsi makanannya bergantung pada beras sebagai makanan pokok. Bahkan frasa “Belum makan, kalau belum makan nasi” bukan merupakan frasa yang asing terdengar di telinga masyarakat Indonesia.
Namun menurut sejarawan Fadly dalam Dialog Sejarah Historia: Keberagaman Pangan di Nusantara Menggali Akar Silam Citarasa Indonesia, tayang di Yotube Historia, penyebab kebiasaan orang Indonesia dalan mengonsumsi beras dapat ditarik mundur ke jaman kerajaan dulu. Tepatnya, di jaman kerajaan mataram, kewibawaan dan kharisma seorang raja dapat dilihat dari kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, karena hal itu bangsawan kerajaan mataram dulu berorientasi pada produksi beras. Hal ini juga tak lepas dari pengaruh pedagang-pedagang cina yang membawa budaya makanan nasi mereka ke Indonesia.
Kedatangan VOC ke Indonesia mendukung keberlanjutan dari dominasi beras sebagai pangan pokok di Indonesia, bahkan mereka sampai menyebarkannya ke daerah-daerah lain di Indonesia. Kebijakan-kebijakan mereka yang memonopoli pasar Indonesia melalui penanaman paksa pangan-pangan yang dianggap sesuai dengan segmentasi pasar Indonesia. Salah satu dampak dari tindakan VOC ini dirasakan oleh Maluku yang menjadikan beras sebagai pangan pokok. Meskipun pada saat itu, maluku sudah memiliki pangan pokok lokal yaitu sagu, ubi rambat dan talas.
Semua rentetan sejarah yang berkesinambungan tersebut menciptakan kebiasaan pada pangan lokal Indonesia. Dewasa ini masyarakat tak bisa lepas dari nasi dalam menu makanannya. Bahkan dikarenakan minimnya edukasi terkait pangan, kebiasaan yang membudaya ini semakin tak lekang oleh waktu dan tak jarang masyarakat melakukan kombinasi makanan yang cukup aneh. Misalnya menggabungkan nasi ketika memakan mie, yang mana keduanya merupakan makananan yang mengandung karbohidrat.
Perubahan budaya makanan: dampak globalisasi dan urbanisasi
Di tengah pesatnya arus globalisasi dan urbanisasi, salah satu aspek kehidupan yang paling terasa dampaknya adalah budaya makanan. Makanan, yang seharusnya menjadi simbol identitas budaya dan warisan lokal, kini menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan keasliannya di tengah gelombang tren global yang terus berkembang. Dari restoran cepat saji yang mendominasi kota-kota besar hingga munculnya masakan fusion yang menggabungkan berbagai elemen kuliner internasional, perubahan dalam pola makan masyarakat kita tidak bisa diabaikan.
Globalisasi telah membuka pintu untuk pertukaran budaya yang lebih cepat dan lebih luas. Teknologi komunikasi yang semakin canggih, perdagangan internasional yang meluas, serta kemudahan akses ke berbagai media membuat makanan dari berbagai belahan dunia kini bisa dijangkau oleh hampir setiap orang. Restoran cepat saji global seperti McDonald’s, KFC, dan Starbucks sudah menjadi pemandangan biasa di banyak kota besar di seluruh dunia, dari Jakarta hingga New York. Tak hanya itu, masakan tradisional dari Jepang, Italia, atau Meksiko kini bisa ditemui di banyak sudut kota.
Proses urbanisasi, yang mengubah wajah desa menjadi kota, semakin memperburuk situasi ini. Ketika orang-orang berpindah ke kota besar untuk mencari peluang kerja, mereka seringkali harus menyesuaikan gaya hidup mereka dengan ritme kota yang lebih cepat. Waktu yang terbatas, mobilitas yang tinggi, serta kesibukan yang tidak pernah berhenti membuat makanan siap saji atau makanan yang bisa dimakan dengan cepat menjadi pilihan utama.
Pengaruh globalisasi dan urbanisasi terhadap budaya makanan bukan hanya soal hilangnya makanan tradisional, tetapi juga soal perubahan pola makan yang cenderung lebih tidak sehat. Makanan cepat saji, meskipun praktis dan lezat, sering kali mengandung bahan pengawet, lemak jenuh, dan gula berlebih yang tidak hanya berdampak pada kualitas makanan, tetapi juga pada kesehatan masyarakat. Obesitas, diabetes, dan penyakit jantung yang meningkat di kota-kota besar, sebagian besar disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat ini.
Dampaknya pada ketahanan pangan
Di masa kini, masalah seperti ini dapat memberikan hambatan bagi program-program pemberdayaan pangan lokal yang digencarkan pemerintah. Dampaknya dapat dilihat dari masalah-masalah pilar-pilar ketahanan pangan yang berkemungkinan terjadi di Indonesia, seandainya masalah-masalah dari aspek tersebut tidak diatasi.
Kedua masalah ini memberikan potensi ancaman yang sama, yaitu potensi ancaman pada keberlangsungan ekosistem pangan lokal. Industri pangan lokal tidak dapat berjalan, jikalau produksi mereka tidak diiringi dengan konsumsi yang sepadan.
Industri pangan lokal yang mati karena kalah saing dengan satu komoditas dan/atau industri pangan asing dapat mempengaruhi kesejahteraan para masyarakat, khususnya para pelaku industri pangan lokal yang bisa kehilangan mata pencahariannya. Hal ini dapat secara tidak langsung menurunkan kemampuan masyarakat Indonesia untuk mengakses pangan, dikarenakan ketidakstabilan ekonomi skala mikro.
Selain ketidakstabilan ekonomi skala mikro, dinamika masalah ini juga mampu memberikan dampak negatif pada ekonomi skala makro yang ditunjukkan dengan pengeluaran APBN berlebih untuk mengimpor beras ke Indonesia ataupun karena berkurangnya pemasukan negara dan daerah akibat dari berkurangnya pemasukan masyarakat.
Negara yang tidak memiliki ekonomi yang stabil perlu melakukan serangkaian perubahan dan penyesuaian pada APBN mereka. Bukan tidak mungkin anggaran untuk produksi pangan kena imbasnya. Ketersediaan pangan menjadi terkikis diakibatkan oleh hal ini.
Padahal situasi ini bisa dihindari dengan mengandalkan konsumsi dan produksi dari pangan berkarbohidrat lainnya. Inilah mengapa pemerintah dan masyarakat perlu berkomitmen untuk mengencarkan dan melaksanakan program-program diversifikasi pangan. Tak hanya untuk pangan berkarbohidrat, tetapi juga untuk pangan dengan kandungan gizi yang berbeda lainnya. Tentunya dengan mempertimbangkan tantangan menghadapi persaingan dari perdagangan pangan asing yang muncul karena urbanisasi masyarakat dan globalisasi, serta ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Penulis : Michael mahasiswa Untirta fakultas ilmu sosial dan politik dari jurusan Ilmu Komunikasi