Caption: Momen sidang pembuktian di pengadilan negeri kutai barat, Jumat 10 Januari 2025, menghadirkan sejumlah saksi, diantaranya ketua tim pemenangan paslon nomor urut 2, Devung Paran yang juga Ketua DPRD Mahakam Ulu 2024-2029.
SENDAWAR, Swarakaltim.com – Kuasa hukum Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati nomor urut 2, pada pemilihan kepala daerah, Kabupaten Mahaka Ulu, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), diketahui telah memperadilkan surat penghentian penyidikan atau SP3 yang dikeluarkan pada 23 November 2024, kepada lima orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dari Kepolisian Polres Mahakam Ulu.
Praperadilan itu berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Kutai Barat, dengan menghadirkan seorang ahli yaitu, Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. merupakan guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Dimana ahli hukum pidana ini, pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh ahli di persidangan maka dapat dikemukakan kesimpulan dari keterangannya sebagai berikut. Bahwa penetapan tersangka oleh pihak penyidik Kepolisian telah melalui proses pemeriksaan di Gakumdu yang anggotanya terdiri dari unsur Bawaslu, Penyidik Kepolisian, dan Penuntut Umum dari Kejaksaan.
Oleh karena itu, suatu laporan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 yang dilakukan oleh terlapor, memenuhi syarat hukum untuk dilimpahkan oleh Gakumdu melalui Bawaslu kepada Penyidik Kepolisian. Maka pelanggaran tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana pemilihan yang telah memiliki bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup. Sehingga pihak Penyidik Kepolisian dalam rangka memenuhi amanah UU tersebut, dapat secara langsung menetapkan terlapor sebagai tersangka.
“Bahwa dengan diterbitkannya SP3 oleh pihak kepolisian atas seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka yang telah melalui proses pemeriksaan di Gakumdu yang melibatkan penyidik kepolisian dan penuntut umum, tidak dapat lagi mendasarkan pada alasan tidak cukup alat bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP,” tutur Juajir kepada media ini melalui WhatsApp, Senin (13/1/2025).
Kata dia, apabila SP3 yang diterbitkan itu didasarkan pada alasan dihentikan demi hukum, maka frasa “dihentikan demi hukum” di dalam KUHAP tidak mendapat penjelasan tentang apa maksud dari frasa “demi hukum” tersebut. Apabila frasa “demi hukum” ini oleh pihak Kepolisian dimaksudkan dengan alasan “daluarsa” suatu kasus sehingga tidak dapat lagi dilakukan penuntutan.
Maka ahli menerangkan bahwa persoalan “daluwarsa” tersebut harus merujuk unsur daluwarsa sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 78 Ayat (1) Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur sebagai berikut: “Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa.
• Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
• Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
• Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
• Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
“Jika pihak SP3 diterbitkan dengan alasan daluwarsa, maka menurut ahli alasan daluwarsa itu untuk menghentikan penyidikan tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 78 Ayat (1) KUHP, dimana tindak pidana Pemilihan yang ancaman hukumannya kurang dari 3 tahun maka masa daluwarsa penuntutan adalah setelah 6 tahun sejak terjadinya peristiwa pidana,” paparnya.
Berkaitan dengan kedudukan pemohon Pra Peradilan, maka ahli menjelaskan dengan merujuk pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 80 KUHAP yang mengatur sebagai berikut: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.
Berkaitan dengan pihak ketiga yang berkepentingan tersebut, maka ahli menjelaskan dengan merujuk pada Keputusan Mahkamah Konstitusi No.76/PUU-X/2012 yang dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menjelaskan: “Bahwa walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas”.
“Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja, tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti LSM atau Ormas lainnya, karena pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakan hukum pidana,” tandas Juajir.
Lanjutnya, bahwa hukum pidana adalah hukum yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum. Dengan demikian, menurut Mahkamah hak konstitusional yang dimaksudkan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, tidaklah dimaksudkan untuk menjamin agar seseorang yang telah mendapatkan SP3 tidak dapat diajukan praperadilan hanya dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum.
“Kepastian hukum yang dimaksudkan adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 80 KUHAP bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan tersangka seperti Pemohon, tetapi dalam pengertian luas dimaksudkan pula untuk melindungi kepentingan seluruh warga negara Indonesia,” tegasnya.
Untuk itu, berdasarkan hak konstitusional warga negara sebagaimana yang dijamin berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. “Maka setiap warga negara berkepentingan untuk melakukan laporan terjadinya pelanggaran UU No. 10 Tahun 2016, termasuk pula berhak dan berkepentingan untuk mengajukan gugatan pra peradilan untuk menguji sah tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, kuasa hukum paslon nomor urut 2, Stanislaus Nyopaq, memaparkan surat penghentian penyidikan atau SP3 yang dikeluarkan oleh Polres Mahulu atas nama Bonifasius Belawan Geh, sebagai Kepala Daerah atau Bupati Kabupaten Mahulu, dengan Nomor: SPPP/03/XI/RES.1.24./2024/Reskrim tanggal 23 November 2024.
Kemudian SP3 yang dikeluarkan atas nama Owena Shari Belawan sebagai calon bupati nomor urut 3, dengan Nomor: SPPP/04/XI/RES.1.24./2024/ Reskrim tanggal 23 November 2024. Selanjutnya SPPP/05/XI/RES.1.24./2024/ Reskrim tanggal 23 November 2024 atas nama Stanislaus Liah, sebagai calon wakil bupati nomor urut 3.
Kemudian SP3 dengan Nomor: SPPP/06/XI/RES.1.24./2024/ Reskrim tanggal 23 November 2024 atas nama Paulus Paran Hilah, sebagai Petinggi Kampung Long Gelawang dan SP3 denngan Nomor: SPPP/07/XI/RES.1.24./2024/ Reskrim tanggal 23 November 2024 atas nama Ding Suhuq, sebagai Petinggi Kampung Datah Bilang Ilir. (***)
Editor : Alfian
Publisher : Rina