MAHAKAM ULU, Swarakaltim.com – Menjadi tradisi warga Dayak Bahau Uma Telivaq mewujudkan rasa syukur atas hasil panen padi yang melimpah disetiap tahunnya. Warga yang bermukim di Sungai Pariq, anak dari Sungai Mahakam, di Kecamatan Long Hubung Kabupaten Mahakam Ulu ini, punya cara tersendiri atas ungkapan rasa syukurnya kepada Dewi Padi yang bernama Dewi Hunai dari kayangan.
Ungkapan rasa syukur itu melalui pelaksanaan ritual Adat Laliq Pakan Hudo dalam pegelarannya berlangsung sejak 25 Februari sampai dengan 2 Maret tahun 2020 ini. Dimana ritual hudo itu dilaksanakan siang dan malam, selama 8 hari berturut turut yang terpusat di Rumah Besar, atau disebut Amin Ayaq Uma Telivaq.
Selain ungkapan syukur, pelaksanaan ritual adat ini juga sebagai sarana pelestarian budaya dan kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga saat ini oleh warga dayak setempat, melalui tetua adat keturunan pemegang laliq hudo bernama Dom Lung dan Silau Bang yang disebut sebagai dayung dan sangat dihormati oleh warga Uma Telivaq.
Dikesorean harinya, matahari senja mulai menyapa dilupuk timur sudut pehuluan wilayah Kampung Matalibaq, disana terlihat puluhan warga setempat yang terdiri dari para orang tua laki laki, para wanita ibuk rumah tangga hingga remaja putra putri kaum milenial, bahkan para bocah diatas rata rata berusia 7 hingga 10 tahun, berkumpul disebuah lokasi dihulu kampung, untuk mengenakan baju hudoq berdaun pisang.
Setelah mengenakan baju hudo dari daun pisang dan menggunakan topeng berbekal sebilah kayu sebesar lengan yang teraut rapi menjadi tongkat atau disebut tegok. Para penari hudo ini bersusun rapi, secara beriringan menuju Amin Ayaq untuk menari membentuk dua lingkaran, sambil menghentakan kayu tegok itu dilantai sehingga suara itu menjadi media musik sebagai nada irama bagi para huduq untuk menari bersama.
Lembaga Adat bidang ritual hudo Markus Liah sedikit mengisahkan sejarah adanya ritual hudoq pesta penen padi Uma Telivaq itu. Kata Liah panggilan akrabnya menyebut, Dewi Padi atau Dewi Hunai dulunya adalah seorang putri cantik dari kayangan yang turun mebawa berkah bagi masyarakat disaat menjelang panen padi.
Kisah tersebut hingga kini menjadi legenda. Sehingga tiap tahun usai panen, masyarakat uma telivaq tak pernah meninggalkan ritual laliq pakan hudo setiap tahunnya. Warga percaya dengan ritual adat itu dapat membawa kemakmuran serta kesejahteraan bagi seluruh keturunannya dan menghasilkan panen padi yang melimpah.
“Sebelum ritual hudo berlangsung, maka dilaksanakan ngaping huma atau ritual membersihkan kampung dari semua jenis petaka yang berbau sial. Setelah besok harinnya baru bisa dimulai dengan Hudo Suh Doh, yang hanya boleh ditampilkan khusus bagi kaum perempuan atau ibuk ibuk kemudian dilanjutkan pada malam harinya dengan hudo apah yang berkostum daun pisang,” jelasnya.
Ia menjelaskan, bahwa hudo apah yang ditampilkan pada malan hari ini merupakan utusan dari dewi padi untuk memanggil semua kumpulan hudoq atau kawanan laliq yang berada di Apau Tiao Bulan diutus dari Negeri Kayangan, untuk membawa berkah dalam ritual adat hudoq yang ditampilkan hingga hari terakhir ritual tersebut.
“Sedangkan tampilan hudo di siang hari berbeda bentuk tampilannya sesuai dengan utusan dari leluhur Negeri Kayangan. Karena pemegang laliq pakan hudq sejak dari jaman dahulu hingga saat ini adalah seorang perempuan, yang diturunkan kepada Dayung kita bernama Dom Lung dan Silau Bang, sehingga ritual adat ini tak pernah punah,” sebut Liah.
Dari berbagai macam ritual adat yang telah dilaksanakan oleh warga setempat, disisi lain ada ritual yang sangat menarik perhatian sejumlah pecinta seni budaya yang sengaja datang untuk menyaksikan tampilan hudoq, yang sangat jauh berbeda dari tampilan hudoq di daerah lainnya.
Yaitu hudo kawit, dimana para penari hudoq ditampilkan oleh para pria kaum tua maupun muda menggunakan kayu tegok. Kemudian saling beradu kekuatan tarik menarik sebuah pohon kayu atau disebut kawit, sebesar batang paha sepanjang 12 meter itu, dari sudut hulu – hilir Amin Ayaq Uma Telivaq.
Menurut Liah, untuk menentukan tanggal pelaksanaan perayaan Hudo Uma Telivaq, para tetua adat dan Kepala Adat setempat Hendrikus Hibau Bong bersama lembaga adat lainnya, bersama-sama merumuskan dengan cara melihat posisi bulan di langit.
“Konon umumnya dalam kepercayaan masyarakat uma telivaq ada dua jenis bulan di dunia. Yaitu dari hitungan mengikuti bulan langit yang membawa berkah atau kami sebut bulan baik. Nah dalam penetapannya, kami memilih bulan baik agar kehidupan kita lebih baik dan hasil panen bisa lebih baik lagi,” terang Liah.
Ditambahkannya, dalam perayaan ritual pesta penen tersebut, ada beberapa hal yang mengeringi Uma Telivaq untuk mengucapkan rasa syukur tersebut. Yakni memasak nasi pitoh berbalut Duun Sip di Amin Ayaq, yang disuguhkan kepada para tamu undangan yang juga sebagai santapan oleh para penari hudoq sebagai menu tradisional.
“Sebelum para penari hudo ditampilkan, mereka terlebih dahulu menyantap nasi pitoh yang terbuat dari beras pulut atau ketan. Sedangkan para tamu yang datang wajib menikmati sajian dari tuan rumah seperti makan nasi pitoh. Arti dari ritual hudo ini, untuk menjaga tanaman padi agar tetap bisa subur pada musim depan,” tukasnya.
Ia juga mejelaskan ada 13 macam hudo yang ditampilkan pada pesta panen tersebut, yaitu Hudo Suh Doh, Hudo Tajung Jat Balun, Hudo Tajung Lung Belaan, Hudo Suh Lake Lavong Kenlay, Hudo Suh Doh Lavong Kirap, Hudo Suh Lake Nanang Kita, Hudo Punan, Hudo Hong, Hudo Hakai, Hudo Apah (Hudo Kawit), Hudo Kenyah, Hudo Ludang dan Hudo Apuy.
Liah sangat mengharapkan, pemerintah daerah bisa lebih memerhatikan kesejahteraan masyarakat Adat Uma Telivaq dalam melestarikan seni budaya yang masih terbilang sacral dalam ritual tersebut. Sebab, masyarakat setempat terus melestarikan budaya adat yang tak boleh ditampilkan disembarang tempat selain di wilayah tersebut.
“Kami sangat menghormati dan menjunjung tinggi budaya kami sendiri, dan ini akan terus dilestarikan hingga ke generasi berikutnya. Hanya boleh ditampilkan oleh masyarakat dayak Uma Telivaq saat menyambut pesta panen padi. Hudo kami tidak boleh ditapilkan di sembarang tempat, jika ada yang melanggar, maka tak segan segan dikenakan denda sesuai hokum adat Uma Telivaq,” pungkas Liah.
Untuk diketahui, Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu telah gencar mempromosikan seni budaya dan kearifan lokal di 5 Kecamatan se-Kabupaten Mahulu yang merupakan daerah perbatasan wilayah Kalimantan Timur dengan Negara tetangga Serawak Malaysia.
Bahkan saat ini atas dukungan pemerintah/legislatif dan seluruh stake holder di era kepemimpinan Bonifasius Belawan Geh, sebagai Bupati dan Y Juan Jenau Wakil Bupati Mahulu, telah berhasil menoreh berbagai prestasi melalui seni budaya yang membanggakan dari pemerintah pusat.
Diantaranya dari keberhasilan prestasi itu, disebabkan Pemkab Mahulu melalui dinas terkait telah sukses membuat program seni budaya dengan pegelaran Festival Hudoq yang terdaftar sebagai Calender Off Even di Kemenpar RI sejak tahun 2018 lalu.
Sehingga pegelaran seni budaya itu dikemas menjadi Festival Hudoq Cross Border yang ditampilkan setiap tahunnya di Ibu Kota Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Mahulu. Tak tanggung tanggung, pegelaran budaya tersebut meraih Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) selama dua kali berturut turut.
Pertama pada pelaksanaan Festival Hudoq Cross Border tahun 2018 lalu, tercatat oleh MURI pegelaran seni budaya itu menampilkan sebanyak 2.230 orang penari Ngarang Aru yang dibawa oleh kontingen hudoq di lima kecamatan se-Mahulu.
Untuk kedua kalinya, Festival Hudoq Cross Border 2019 meraih prestasi MURI melalui Pegelaran Hudoq Tampa Henti Terlama, melalui penilian selama 25 jam nonstop, setelah pegelaran dibuka Bupati Mahulu Bonifasius Belawan Geh, pada Kamis 24 Oktober lalu.
Sedikit uraian singkat tentang seni budaya dan kearifan lokal dari suku Dayak yang bermukim dipesisir Sungai Mahakam di wilayah Kabupaten Mahakam Ulu. Adapun suku dayak diwilayah itu, Dayak Bahau, Dayak Kayan, Dayak Aoheng, Dayak Kenyah dan Melayu Bakumpai.
Penulis : Alfian
Editor : Redaksi (SK)