RJ Bukan Program Tetapi Kewenangan UU Oleh Kejaksaan.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Tegaskan Akan Dipidanakan Bagi Jaksa Langgar Tindakan Indisipliner.

JAKARTA, Swarakaltim.com – Terkait dengan pemberitaan berbagai media tentang adanya praktik jual beli Keadilan Restoratif (restorative justice) atau biasa di sebut RJ serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyinggung kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) belum lama ini.

Untuk itu, melalui Press Release SIARAN PERS Nomor: PR – 096/096/K.3/Kph.3/01/2023, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Dr. Ketut Sumedana telah memberikan klarifikasi dan pemahaman kepada masyarakat.

“Agar pelaksanaan RJ dan demi penegakan hukum humanis, tidak tercoreng dengan pemberitaan yang minor dan tendensius,” ucap Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI secara tertulis ini.

“Walaupun secara spesifik, tidak menunjuk langsung kepada lembaga Kejaksaan,” lanjutnya.

“Dalam penerapan RJ ini, berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP, yaitu Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik,” jelasnya.

Dr. Ketut Sumedana menjelaskan kembali bahwa dalam kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.

“Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 34A, yaitu untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik,” urainya.

“Dalam penerapan RJ oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban atau keluarganya, yang telah memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana,” ungkapnya.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI menerangkan bahwa dalam penerapan RJ dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.

“Antara lain yakni, (1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat,” sambungnya.

“Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif,” tegasnya.

“Di samping itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat,” tuturnya.

“Kejaksaan sangat apresiasi terhadap kritik dan saran pelaksanaan RJ di setiap daerah, dalam rangka perbaikan dan fungsi pengawasan terhadap jajaran Kejaksaan yang menyalahgunakan kewenangan terhadap pelaksanaan RJ di daerah,” jelas Dr. Ketut Sumedana melalui keterangan tertulis ini.

“Untuk itu, kami berharap jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidak profesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan tercela, yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan,” pesannya.

“Apabila laporan tersebut mengandung kebenaran, kami pastikan akan ditindak dan tidak segan akan dipidanakan,” tegas Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI.

“Sebab, penegakan hukum humanis yang kami tunjukkan kepada masyarakat jangan sampai disalahgunakan,” harapnya.

Dr. Ketut Sumedana mengatakan pula bahwa dalam Penerapan RJ, sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional serta dampaknya sangat luar biasa di masyarakat, yakni dapat mengurangi resistensi di masyarakat serta memberikan efek jera, sebagai sanksi sosial di masyarakat, serta dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum.

“Oleh karenanya, penerapan RJ harus kita jaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis,” pungkasnya. (AI)

Loading

Bagikan: