Muhammad Zair Baitil Atiq
Prodi: Hubungan Internasional
Universitas: Universitas Muhammadiyah Malang
Swarakaltim.com – Pada tahun 2019, Sri Lanka mulai mengalami ketidakstabilan ekonomi yang mana ketidakstabilan ini pada akhirnya bermuara pada krisis ekonomi besar pada tahun 2022. Krisis ekonomi tersebut adalah yang terburuk dalam sejarah Sri Lanka dalam 7 dekade terakhir.
Jutaan orang di Sri lanka menanggung kesulitan, ketidakamanan, dan kelaparan akibat krisis yang terjadi. Berdasarkan data dari the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) and the United Nations World Food Programme (WFP) pada tahun 2022 sekitar 6,3 Juta masyarakat Sri Lanka mengahadapi krisis pangan yang akut. Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi di bidang pertanian sebesar 50% karena kurangnya impor biji-bijian pangan, pupuk kimia, dan pestisida akibat dari semakin menipisnya devisa negara.
Penurunan produksi dan hasil pertanian menyebabkan kelangkaan pangan dan melambungnya harga bahan-bahan penting seperti makanan dan bahan pertanian. Akibatnya, terdapat gangguan yang signifikan terhadap produksi di sektor pertanian dan aktivitas komersial. Hal ini juga berimbas kepada semakin berkurangnya lapangan pekerjaan karena banyak tempat produksi yang harus memecat karyawannya untuk menutupi biaya operasional yang tak sebanding dengan hasil produksi.
Inflasi yang terjadi telah menurunkan nilai rupee, sehingga menyebabkan harga bahan pangan melonjak secara drastis. Hal ini menyebabkan penurunan daya beli masyarakat karena kenaikan harga-harga yang membuat harga makanan menjadi semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar orang, terutama bagi mereka yang tinggal di bawah garis kemiskinan. Akibat dari penurunan aktivitas ekonomi juga berdampak pada pekerjaaan dan sumber penghasilan masyarakat.
Sri Lanka juga mengalami kebangkrutan dan kehabisan bahan bakar yang menyebabkan masyarakat harus mengalami pemadaman listrik selama berjam-jam untuk menghemat energi serta harus menggantri panjang bahkan sampai berhari-hari untuk mengisi bahan bakar kendaraan. Pemadaman listrik yang dilakukan secara intens dan kekurangan obat-obatan vital turut menghancurkan sistem kesehatan negara. Banyak rumah sakit yang harus membatalkan semua jadwal operasi karena kekurangan obat. Di banyak rumah sakit lain, operasi rutin telah ditangguhkan dan banyak tes diagnostik laboratorium telah dikurangi.
Sering kali krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka ini diasosiasikan dengan jebakan hutang (debt trap) China. Premis ini tidak sepenuhnya salah namun hal yang perlu kita garis bawahi adalah krisis yang terjadi di Sri Lanka merupakan krisis struktural yang disebabkan oleh banyak faktor bukan hanya faktor tunggal saja. Jika kita telusuri dari awal maka kita bisa melihat kemunduran ekonomi Sri Lanka berawal pada kesalahan implementasi kebijakan oleh presiden Sri Lanka pada 2019 yang menerapkan pemotongan pajak bagi masyarakat dengan dalih sebagai upaya untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang dikeluarkan berisi terkait pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 15% menjadi 8%.
Akan tetapi, kebijakan ini menuai kritik dari ekonom dan lembaga think-tank seperti Advocata Institute. Murtaza Jafferjee, sebagai kepala Advocata Institute, berpendapat bahwa kebijakan pemotongan pajak tersebut merupakan misdiagnosis terhadap kondisi ekonomi Sri Lanka saat itu. Rancangan kebijakan ini dinilai hanya sebagai upaya bagi presiden Sri Lanka untuk mendapatkan hati rakyat pada pemilu 2019 yang menjanjikan penurunan pajak secara besar-besaran. Pada akhirnya kebijakan ini terbukti tidak efektif, alih-alih merangsang pertumbuhan, kebijakan ini justru memperburuk defisit fiskal negara. Pemotongan pajak tersebut ternyata disubsidi dari hutang negara yang terus diproduksi. Selain itu kebijakan terkait dengan larangan penggunaan pupuk kimia menyebabkan turunnya sektor pertanian negara. Tujuan awal kebijakan ini sebenarnya untuk mendorong pertanian organik, namun pada faktanya justru menurunkan produktivitas pertanian.
Petani kesulitan beradaptasi dengan metode organik karena kurangnya pengetahuan dan ketersediaan pupuk organik, sehingga hasil panen komoditas utama seperti beras, teh, dan rempah-rempah menurun drastis. Karena hal ini, pada akhirnya pemerintah terpaksa harus mengimpor pupuk organic dari luar.
Implementasi kebijakan yang buruk oleh pemerintah ini turut diperparah dengan hadirnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah mengakar dalam pemerintah Sri Lanka. Laporan dari Transparency International pada tahun 2022 menempatkan Sri Lanka di peringkat 101 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Selain itu perilaku nepotisme dan politik dinasti di Sri Lanka sangatlah kuat. Pada masa kepresidenan Gotabaya Rajapaksa, posisi perdana meneteri di isi oleh kakaknya sendiri yakni Mahinda Rajapaksa.
Selain itu jajaran kementerian turut di isi oleh keluarga rajapaksa yang membuat dinastik politik di negara tersebut sangatlah kuat. Praktik korupsi dan nepotisme seperti inilah yang membuat ketidakefektifan kebijakan ekonomi pemerintah dan menghalangi upaya reformasi struktural yang sangat dibutuhkan. Pada akhirnya, korupsi telah berkontribusi terhadap krisis utang, defisit fiskal yang besar, dan ketidakstabilan ekonomi yang dialami Sri Lanka saat ini.
Faktor lain yang turut mempengaruhi krisis ekonomi di Sri Lanka adalah COVID-19. Sri Lanka sebagai negara yang banyak bergantung pada sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan terbesar ketiganya, merasakan pahitnya dampak pandemi yang membuat jumlah wisatawan anjlok secara drastis.
Pada tahun 2019 tercatat bahwa terdapat 2,3 Juta wisatawan namun pada tahun 2020 turun hingga 120 ribu. Dengan penutupan perbatasan dan pembatasan perjalanan, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Sri Lanka anjlok hingga 73,5% pada tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Pandemi juga turut menganggu aktivitas ekspor dan impor Sri Lanka Negara ini bergantung pada ekspor komoditas pertanian untuk menghasilkan pendapatan.
Dengan adanya gangguan rantai pasokan global dan penurunan permintaan dunia, ekspor Sri Lanka mengalami penurunan selama pandemi. Pada tahun 2020, ekspor negara ini turun hingga 15,9% dibandingkan tahun sebelumnya, dari $11,9 miliar menjadi hanya $10 miliar. Di sisi lain, impor barang-barang esensial seperti bahan bakar, obat-obatan, dan bahan makanan juga terganggu, sehingga menyebabkan kekurangan pasokan. Pemerintah Sri Lanka telah berusaha mengambil langkah seperti stimulus fiskal, relaksasi kebijakan moneter, dan program bantuan social. Sangat disayangkan, langkah tersebut itu tidak cukup sehingga Sri Lanka akhirnya meminta bantuan keuangan dari IMF.
Pada akhirnya krisis ekonomi ini tidak terlepas dari buruknya manajemen hutang yang dilakukan oleh pemerintah Sri Lanka. Namun perlu dipahami bahwa jumlah hutang luar negeri yang tinggi bukan merupakan penyebab utama krisis ekonomi di Sri Lanka, melainkan rasio hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus meningkatlah menjadi faktor utama yang memicu krisis tersebut.
Rasio utang Sri Lanka terhadap PDB telah meningkat menjadi 114% pada tahun 2022. Tingginya rasio ini mengindikasikan bahwa beban utang negara menjadi tidak berkelanjutan dan membahayakan pertumbuhan ekonomi. Penggunaan dan pemanfaatan hutang yang dimiliki juga tidak di alokasikan ke sektor-sektor produktif yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara. Buruknya manajemen utang oleh pemerintah Sri Lanka hingga penggunaannya yang tidak tepat sasaran turut menjadi faktor signifikan dalam krisis ekononmi yang terjadi. (*/Sk)