*Catatan M.M.Rudi Ranaq,S.H.,M.Si,C.Me*
(Penulis adalah Petani Lemon Kelahiran Kampung Benung, Kec. Damai, Kab. Kutai Barat, Kaltim, Advokat, Mediator Non Hakim & Pemerhati Industrialisasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia).
SENDAWAR, Swarakaltim.com – Penetapan Dana Bagi Hasil Kelapa Sawit (DBH Sawit) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 38 Tahun 2023, didasarkan pada ketentuan Pasal 123 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 01 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Derah. DBH Kelapa Sawit memang hal baru, namun mempunyai nilai fiscal dan ekonomi yang amat strategis. Mengapa amat strategis? Salah satu kekuatan ekonomi nasional saat ini dan bahkan di masa yang akan datang adalah Kelapa Sawit. Kelapa Sawit telah dan sedang menjadi komoditi ekspor terbesar Indonesia, yakni sekitar 12% dari total ekspor nasional, menyusul Migas dan Batubara. Asal diketahui saja Kaltim sendiri pada tahun 2023 merupakan provinsi penghasil barang ekspor terbesar kedua secara nasional sebesar US$27,94 miliar (10,79 persen) setelah Jawa Barat dengan nilai US$36,63 miliar (14,15 persen) dan urutan ketiga Jawa Timur US$22,43 miliar (8,66 persen).
Pada tahun 2023 Eskpor Kelapa Sawit yang terdiri dari Minyak Sawit Mentah dan Kernel telah menghasilkan cuan alias uang yang sangat besar bagi negara ini, yakni Rp 136,25 triliun yang tercatat dalam APBN 2023, namun dari sisi rasa keadilan untuk daerah penghasil dan daerah yang dibagikan, cuan besar di atas amatlah disayangkan, karena yang dibagikan ke Daerah-Daerah hanya Rp. 3,4 triliun saja, sisanya tetap dikelola Pemerintah Pusat, bahkan untuk tahun 2024 ini, Pemerintah Pusat merancang anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit untuk Daerah-Daerah hanya sebesar Rp. 3 triliun.
Suatu porsi yang sangat kecil untuk Daerah-Daerah, tidak sampai 5%. Memang secara yuridis dijelaskan dasar penetapan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit ini adalah Pasal 123 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan sangat tidak mengurangi rasa nasionalisme penulis sebagai Anak Negeri ini, prosentase pembagian untuk Daerah-Daerah yang amat minim ini, diyakini tidak akan mampu menjawab kesenjangan fiscal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan tidak akan mampu menjawab eksternalitas negative lainnya sebagai ekses dari industrialisasi ini. Pola bagi hasil yang “terlampau sedikit dan kecil ke Daerah” sangat berpotensi menciptakan kesenjangan fiscal yang semakin lebar antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Daerah-Daerah hanya menerima kue kecil dari Pemerintah Pusat yang dikonstruksikan dengan Peraturan dan Perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat secara top down.
Dalam konteks yang konkrit, kini dan di sini, pembagian DBH Kelapa Sawit untuk Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2023 di Sektor Perkebunan hanya sebesar Rp205,5 miliar. Dari jumlah Rp.205,5 miliar, Rp. 43 miliar diberikan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur , dan sisanya kepada Kota Balikpapan sebesar Rp 6,9 miliar, Kota Samarinda sebesar Rp11,8 miliar, Kota Bontang sebesar Rp7 miliar, Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar Rp19,7 miliar, Kabupaten Kutai Timur sebesar Rp37,4 miliar, Kabupaten Berau Rp20,5 miliar, Kabupaten Paser sebesar Rp20,3 miliar, Kabupaten Penajam Paser Utara sebesar Rp11,6 miliar, Kabupaten Kutai Barat sebesar Rp17,8 miliar dan Kabupaten Mahakam Ulu sebesar Rp8,7 miliar. Suatu jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan perolehan dana secara nasional. Belum lagi jumlah pembangian ini patut diduga tidak sepenuhnya sesuai ketentuan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Pusat sendiri.
Hal ini penting menjadi atensi, karena luas perkebunan kelapa sawit Kaltim sendiri terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada akhir tahun 2017, luas Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur sudah mencapai 1.208.697 hektar (1,2 juta hektar) dengan sebaran di Kabupaten Kutai Timur mencapai 459.616,36 hektar. Lahan di Kabupaten Kutai Timur telah melampaui lahan perkebunan sawit di Kabupaten Paser yang telah terlebih dulu mengembangkan kelapa sawit yang memiliki lahan 181.503,25 hektar. Kawasan sawit yang luas lainnya terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara mencapai 224.223,15 hektar disusul Kabupaten Kutai Barat seluas 146.304,81 hektar. Berikutnya, Kabupaten Berau seluas 123.389,50 hektar dan Penajam Paser Utara (PPU) seluas 52.291.18 hektar serta Mahakam Ulu memiliki luas 19.926 hektar. Sementara itu kawasan terkecil terdapat di wilayah kota seperti Balikpapan yang hanya memiliki 33 hektar sedangkan Bontang 52 hektar dan Samarinda seluas 1.358 hektar. Dari luasan di atas, kebun inti sudah mencapai 894.253 hektar, plasma (kerjasama swasta dengan masyarakat) 182.170 hektar dan kebun rakyat 132.274 hektar.
Beberapa tahun kemudian, berdasarkan data dari Pemprov Kaltim melalui Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim mencatat total luasan perkebunan kelapa sawit di Kaltim mencapai 1.411.861 hektare, dengan rincian perkebunan inti 972.152 hektare dan plasma/rakyat/swadaya seluas 373.212 hektare. Dari luasan yang semakin bertambah di atas, rencana penyelenggaraan DBH Kelapa Sawit 2024 oleh Pemerintah Pusat malah lebih kecil dari DBH Kelapa Sawit 2023, yakni Rp182,65 milyar, padahal fakta menunjukkan Kalimantan Timur adalah Penghasil Kelapa Sawit terbesar nomor 5 di Indonesia, yakni 4,22 juta ton (8,98%) pada tahun 2023, hal mana peruntukan dana DBH Kelapa Sawit ini terbatas pada membiayai kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan dan/atau kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri sesuai ketentuan dari Pemerintah Pusat.
Kewenangan penuh Pemerintah pusat tidak saja dalam hal menentukan peruntukan DBH Kelapa Sawit, tetapi juga menentukan Berapa Jumlah Alokasi Per Perovinsi dan Kabupaten/Kota juga se-Indonesia, walau pun RKP DBH memang diusulkan dari Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan dengan Kementrian untuk dimasukan dalam APBD.
Kebijakan Otonomi Daerah sebagai buah dari Gerakan Repormasi 1998 sudah banyak banyak berubah. Pengaturan alokasi pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan pusat yang awalnya diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan UU Tentang Perimbang Keuangan Nomor 25 Tahun 1999 kini telah diganti dengan regulasi yang baru. Otonomi Daerah menghasilkan jumlah daerah otonom telah berkembang pesat dari 319 daerah otonom pada tahun 1999 menjadi 524 daerah otonom (provinsi, kabupaten, kota) pada tahun 2010. Rata-rata per tahun, dalam kurun waktu 10 tahun, muncul lebih dari 20 daerah otonom baru. Dan pada tahun 2019, jumlah daerah otonom menjadi 548 yang terdiri dari 416 Kabupaten, 98 Kota dan 34 Provinsi.
Sampai saat ini telah terjadi banyak perubahan Regulasi Tentang Otonomi Daerah yakni UU 23/2014, bahkan sampai perubahan yang kelima. Namun seiring waktu berjalan, berbagai regulasi dilahirkan justru diduga kuat semakin memperkecil Kewenangan Pemerintah Daerah. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa urusan daerah dari Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi urusan Pemerintah Provinsi.
Begitupun sebagian urusan Pemerintah Provinsi kemudian ditarik menjadi urusan Pemerintah Pusat. Puncaknya adalah diberlakukannya UU Nomor 01 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-Undang (UU) ini mencabut UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan beberapa Pasal dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dinyatakan pada Pasal 3 meliputi 2 hal penting. Pertama, penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kedua, nah ini yang menarik, bahwa penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut pembuat Undang-Undangnya, dengan ditetapkannya UU ini, diharapkan dapat menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien dalam pengaturan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah .
Penulis setuju dengan regulasi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ini, namun dengan catatan, yakni bahwa mengacu pada Pasal 111 sampai dengan Pasal 123, Dimana DBH untuk Pemerintah Daerah yakni Pajak 20%, PBB 100%, Kehutanan (Ijin Usaha Pengusahaan Hutan 80%, PSDH 80%, DR 40% untuk Provinsi Penghasil, Batubara (Iuran Tetap 80%, Iuran Produkdi 80%), Minyak Bumi 15,5%, Gas Bumi 30%, Panas Bumi (Iuran Tetap 80%) dan Perikanan 80% dari Pemerintah Pusat, DBH Sawit harus dinaikan lagi jumlahnya, karena pembagian existing sekarang kurang dari 5% untuk Daerah, nasipnya hampir sama dengan DBH Cukai Hasil Tembakau yang hanya 3% untuk Daerah atau setara dengan Rp. 5,4 triliun sesuai regulasi Pemerintah , padahal hasil cuan/uang dari Cukai Hasil Tembakau sangatlah besar, yakni Rp Rp213,48 triliun sampai akhir tahun 2023 .
Dengan semangat merindukan Pemerataan Pembangunan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, hal mana kondisi konkrit kini dan di sini, yakni di Daerah Pedalaman dan daerah Perbatasan Kalimantan Timur yang ruas jalannya (nasional, provinsi, kabupaten) masih berkubangan lumpur, yang masih terisolasi karena ketiadaan fasilitas komunikasi yang mumpuni, yang tidak menikmati indahnya terang pada malam hari (PLN), yang kondisi SDM anak-anaknya masih jauh dari ekspektasi, dan sederetan litani keterbelakangan lainnya yang tak mungkin Penulis daraskan di sini, akankah Pemerintah Pusat “BERANI” memberikan DBH Kelapa Sawit minimal 50% kepada Daerah-Daerah di masa yang akan datang sebagai langkah solutif dan massive guna menjawab ketertinggalan Daerah dalam mengisi pembangunan di daerahnya, sehingga bisa menggapai kemajuan dan kemapanan seperti kondisi di Pulau Jawa? Akankah Nasib DBH Kelapa Sawit tetap sama dengan nasib DBH Cukai Hasil Tembakau? Di akhir tulisan ini, penulis berharap kiranya ruang pikiran dan hati Pemerintah Pusat dan DPR RI terketuk hatinya untuk merevisi kondisi kesenjangan fiskal di bidang DBH Sawit ini, dan DBH Cukai Hasil Tembakau tentunya, agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yakni masyarakat yang adil dan makmur sebagai amanat Proklamasi 17 agustus 1945 segera terwujud di seluruh wilayah NKRI, tidak terkecuali di pedalaman dan perbatasan, bukan saja di kota-kota besa, karena terbukanya ruang perubahan regulasi ini telah diatur dalam UU Nomor 01/2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 123 ayat (4) yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat’.
Semoga kerinduan Penulis dan bukan tidak mungkin kerinduan ribuan anak-anak negeri lainnya juga yang telah lahir dan besar dari daerah pedalaman dan perbatasan, tempat berlimpahnya kekayaan SDA yang tak terbantahkan, akan menjadi saksi terwujudnya pembagian cuan-cuan besar ke Daerah Penghasil sehingga tidak menambah kesenjangan fiscal Pusat dan Daerah di masa yang akan datang. Semoga ekspektasi ini akan menjadi nyata, bukan utopia atau retorika belaka di masa depan yang digaungkan sebagai Indonesia Emas dan Indonesia yang tangguh.
Editor : Alfian
Publisher : Rina