SAMARINDA, Swarakaltim.com – Talk show Samarinda dalam Warna: Menggali Budaya Tionghoa dan Pengaruhnya di Samarinda sukses digelar di Atrium Samarinda Central Plaza pada Sabtu sore (25/1/2025).
Acara ini menghadirkan berbagai narasumber yang membahas sejarah, budaya, dan peran etnis Tionghoa dalam perkembangan Kota Samarinda.
Acara dibuka langsung oleh Sekretaris Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Samarinda, Andy Ariefin. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya keberagaman dan persatuan dalam membangun kota.
“Harapan saya, kita bisa bertumbuh dan bersatu untuk membangun Samarinda, karena pembangunan tidak mungkin terjadi tanpa masyarakat yang rukun dan kondusif,” ujarnya.
Dalam talk show, Ketua Umum Yayasan Dharma Bhakti Samarinda, Dharmadi Suryawan menjelaskan bahwa kehadiran etnis Tionghoa di Samarinda sudah berlangsung sejak lama, terutama karena faktor perdagangan.
“Indonesia kaya dengan hasil bumi, sehingga para saudagar Tionghoa datang untuk berdagang dan melakukan barter,” jelasnya.
Jumlah etnis Tionghoa di Samarinda mulai meningkat pesat pada tahun 1800-an, ketika para perantau sukses dan mengajak saudara mereka untuk turut menetap.
Dharmadi juga menyoroti keberadaan Kelenteng Tua Samarinda, yang dibangun pada tahun 1905 dan kini menjadi cagar budaya.
“Kelenteng itu menjadi wadah bagi para perantau yang menganut Tridharma. Bangunannya masih asli dengan sistem konstruksi rasuk,” katanya.
Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa sekolah Tionghoa pertama di Samarinda, yaitu sekolah Tsung Hua Hwee Kwan yang didirikan pada tahun 1906, sebelum akhirnya ditutup pada 1966 akibat dinamika politik.
Ditambahkan oleh Tim Ahli Cagar Budaya Samarinda, Slamet Diyono bahwa pengaruh etnis Tionghoa dalam perkembangan ekonomi daerah tidak hanya terjadi di Samarinda, tetapi juga di kota-kota lain seperti Sangasanga.
“Dulu, Sangasanga sangat maju karena banyak etnis Tionghoa yang bekerja dan berdagang di sana. Namun, kebijakan politik saat itu mengharuskan mereka kembali ke Samarinda,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan makna di balik tradisi Imlek yang masih lestari di Samarinda.
“Pernak-pernik dalam Imlek itu bukan sekadar dekorasi. Kue keranjang, misalnya, melambangkan harapan agar setiap tahun selalu sukses. Lampion juga memiliki filosofi kehangatan dan kesuksesan,” jelas Slamet. .
Salah satu keunikan etnis Tionghoa di Samarinda dibandingkan dengan kota-kota lain adalah kemampuannya untuk berbaur dengan budaya setempat.
“Di sini, banyak orang Tionghoa yang bisa berbahasa Banjar dan Kutai, karena mereka sudah akrab dengan budaya lokal. Ini berbeda dengan kota besar seperti Jakarta, di mana sering masih ada jarak antara etnis,” ungkap Slamet.
Para narasumber sepakat bahwa pemeliharaan budaya harus diimbangi dengan pembangunan yang inklusif. Slamet menyoroti perlunya revitalisasi pusat-pusat kuliner khas Tionghoa di Samarinda, khususnya di sekitar Jalan Mulawarman.
“Dulu banyak jajanan khas Tionghoa di sana, tapi sekarang tempatnya kurang terawat. Akan lebih baik jika dibuat lebih menarik, seperti konsep di Bali,” sarannya.
Acara talk show ini menegaskan bahwa budaya Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Samarinda. Dengan terus menjaga keberagaman dan keharmonisan, diharapkan Samarinda bisa menjadi contoh kota multikultural yang berkembang pesat tanpa kehilangan identitas budayanya.(Dhv)