Aliansi Perempuan Indonesia Tolak Revisi UU TNI, Khawatirkan Kembalinya Dwifungsi Militer

JAKARTA, Swarakaltim.com – Aliansi Perempuan Indonesia (API), yang terdiri dari berbagai organisasi perempuan dan LSM, mendesak pemerintah serta DPR RI untuk menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka menilai proses revisi ini dilakukan secara tergesa-gesa dan minim keterbukaan.

Mutiara Ika Pratiwi, Ketua Perempuan Mahardhika yang tergabung dalam API, menegaskan bahwa proses pembahasan ini mencederai prinsip partisipasi dalam perumusan undang-undang.

“Ini merupakan tindakan yang mencederai proses partisipatif perumusan sebuah undang-undang, terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme (Dwifungsi TNI) di Indonesia,” tegasnya via zoom meeting, Selasa (18/3/2025).

Dalam petisi yang mereka ajukan, API menyoroti bahwa rencana memperluas penempatan TNI aktif di jabatan sipil berpotensi meningkatkan dominasi militer dalam kehidupan sipil. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan kebijakan dengan loyalitas ganda, yang pada akhirnya merusak keseimbangan demokrasi dan supremasi sipil.

Lebih lanjut, API mengkritik upaya merevisi klausul terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menghapus persetujuan DPR. Menurut mereka, hal ini menghilangkan kontrol parlemen dan membuka peluang bagi TNI untuk mengambil alih kewenangan sipil dalam operasi militer non-perang.

“Perluasan fungsi militer dalam revisi UU tersebut membangkitkan trauma kolektif kelompok perempuan dan masyarakat Indonesia atas berbagai peristiwa kekerasan yang melibatkan militer di Orde Baru maupun pasca reformasi,” kata Ika.

API juga mengingatkan dampak historis dari keterlibatan militer dalam ranah sipil. Mereka menyinggung kasus Marsinah, seorang aktivis buruh yang menjadi korban femisida akibat keterlibatan militer dalam konflik perburuhan, serta berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama era Dwifungsi ABRI. Menurut mereka, militerisme sering digunakan untuk membungkam kritik dan mempertahankan kontrol atas struktur sosial, termasuk dalam membatasi peran perempuan.

Sejarah juga mencatat bahwa dalam berbagai Daerah Operasi Militer (DOM), perempuan kerap menjadi korban kekerasan seksual. Contohnya, dalam operasi militer di Aceh, setidaknya 117 perempuan mengalami pemerkosaan. Pola serupa juga ditemukan di Papua dan daerah lain, di mana kekerasan seksual dijadikan alat untuk menekan kelompok tertentu.

Menurut API, dominasi militer dalam birokrasi sipil berisiko memperburuk impunitas terhadap pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan. Jika revisi UU TNI disahkan, investigasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM akan semakin sulit dilakukan.

Sebagai penutup, API menegaskan tuntutannya kepada pemerintah dan DPR RI.

“Dengan pemaparan di atas, maka kami menuntut kepada Pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan proses pembahasan RUU TNI! Dan bersikap menolak kembalinya dwifungsi TNI. Usut tuntas segala bentuk pelanggaran HAM di Indonesia,” pungkas Ika.(Dhv)

Loading

Bagikan: