SAMARINDA, Swarakaltim.com – Proses pembebasan lahan untuk proyek Jalan Ring Road II di Samarinda masih menemui kendala. Dari total panjang jalan 7,6 kilometer, terdapat sembilan bidang lahan milik warga yang hingga kini belum juga menerima pembayaran dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim).
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perumahan Rakyat (PUPR-PERA) Kaltim, Aji Muhammad Fitra Firnanda, menyebut pembayaran tahap pertama telah dilakukan pada 2023 berdasarkan pengajuan warga yang dokumennya telah lengkap. Namun masih ada pengajuan susulan yang baru masuk pada 2024 dan dijadwalkan akan dibayarkan tahun ini.
“Semua lahan yang statusnya jelas dan berkasnya lengkap langsung kita bayarkan sesuai perhitungan luas dan nilai ganti ruginya,” jelas Firnanda, Kamis (12/6/2025).
Namun, menurutnya, persoalan timbul karena sebagian lahan yang diajukan ternyata masuk ke dalam kawasan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Kementerian Transmigrasi. Lahan tersebut tidak dapat dibayarkan karena secara hukum merupakan aset negara.
“Masalahnya ada sembilan bidang yang berada di wilayah HPL. Itu yang sampai sekarang belum bisa kami bayarkan karena statusnya milik negara,” terangnya.
Firnanda menegaskan, pembayaran baru bisa dilakukan setelah ada kejelasan hukum dan administrasi dari kementerian terkait. Ia menyatakan bahwa Pemprov tetap berkomitmen membayar lahan yang memang sah milik warga.
“Kalau memang itu hak masyarakat, tentu akan kami bayar. Tapi kalau statusnya HPL, kami tak bisa bayarkan,” tegasnya.
Sementara itu, kuasa hukum warga pemilik lahan, Abdurrahim, menjelaskan bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Kaltim dan PUPR, muncul rekomendasi untuk mendorong pelepasan status HPL agar pembayaran bisa segera dilakukan.
“Semua pihak sepakat mencari solusi konkret agar masalah ini tidak berlarut. Kami sudah sampaikan permohonan ke Kementerian Transmigrasi,” ungkap Abdurrahim.
Ia menambahkan, para pemilik lahan sudah menguasai tanah tersebut selama puluhan tahun, dan baru ketika menuntut ganti rugi muncul klaim HPL sekitar 2023 lalu. Padahal, jalan tersebut telah digunakan sejak 2011.
“Pertanyaannya, kenapa status HPL ini baru muncul belakangan? Apalagi di dalam objek tanah itu juga terdapat surat legal seperti SHM dan HGU,” tuturnya.
Abdurrahim berharap pemerintah dapat membuka secara transparan status hukum lahan yang disengketakan, sehingga keadilan bagi warga yang terdampak bisa segera terwujud.(DHV)