“Respecting Diversity, Embracing Culture: Life in Khon Kaen as an Exchange Students”


Writer : Najia Raihana Az-Zahra, Public Administration, Fisip Unmul

Swarakaltim.com – Welcome to Khon Kaen, the Capital city of Khon Kaen Province of North-Eastern Thailand Region, the largest region on Thailand, or the local people usually called it ‘Isaan’. The total area of Isaan is over 170,000 square kilometers or roughly one-third of the entire country.

Khon Kaen has accepted modernity as one of the fastest growing cities in the Northeast while holding onto its cultural heritage. However, the citizen still maintaining their local cultures, for example, Local culinary traditions are greatly preserved by the unique Isaan cuisine, which is well-known for its fiery flavors and unusual dishes like larb (hot minced pork salad) and som tam (papaya salad), which are even commonly eaten as daily meals.

Not only that, Khon Kaen also has entertainment centers, retail centers, and a well-developed transit network. They are also has equilibrium renders it a desirable location for visitors and locals alike. Festivals like the Silk Festival and the Loy Krathong Festival, which feature colorful parades and cultural acts showcasing the local spirit, bring the city to life. These occasions provide an insight into the vibrant customs of Khon Kaen.

For transportation, it is quite interesting because Khon Kaen residents can use the shuttle bus provided by Khon Kaen University, with several bus stops. As long as the distance is within the vicinity of Khon Kaen University, the transportation cost is free, indirectly saving expenses for students.

Moreover, they also have “Van” transportation for a fee of 15 baht. The van will take passengers to the city center, such as Central Plaza, a mall with a building structure resembling a rice basket as a symbol of Isaan. Don’t worry; online motorcycle taxis like Grab and Maxim are also available here, ready to take passengers anywhere.

Another unique aspect is that most Khon Kaen residents have adopted QR code payment methods. This makes them reluctant to accept payments with bills above 100 baht because it’s challenging to provide change. Therefore, there are only two options available: either give exact cash or use a Thai bank that supports QR code payments. Using Indonesian banks often fails, except at specific times. Additional information: convenience stores like Seven Eleven and Lotus will still accept bills above 100 baht.

As an exchange students from Faculty of Social and Politics Science at Mulawarman University and wearing a hijab at KKBS Khon Kaen University, feels respected by them, they’re very understanding and welcoming at Muslims, the lecturer and some of friends even gives us some warning at the foods since most of them were contained by pork and recommend some places that afford halal foods.

Their culture at campus also different from Mulawarman University, especially in FISIP, for examples they didn’t have a break time for us taking a breaks from the course to have a meals, instead the lecturer only gives a spare time for the students between classes, and they even let us to leave if we’re needed. The lecturer were okay if the students leaving in the middle of class were going if they need to. This is a good thing for Muslims because classes usually took 2 until 3 hours, often overlapping with prayer times. Therefore, Muslim students can use this opportunity to leave the class, perform their prayers, and then return to continue attending the class.

However, unfortunately, in Khon Kaen itself, it is still challenging to find prayer rooms (musholla), especially in KKBS where there is still not available. But don’t worry, the Dean of KKBS suggests that Fisip students, if they want to perform prayers, can visit the Faculty of HUSO (Humanity and Social Sciences) because there is a prayer room on the 4th floor. And for Muslim community members, especially men who want to attend Friday prayers, the mosque is quite far from their residence. However, with the shuttle bus, everything can still be easily accomplished. Not only that, they often provide lunch for Muslim worshippers attending the mosque, which we consider well worth the distance traveled.

The culture of respecting at each other were very well at Khon Kaen, regardless of whether they are female or male, or even transgender, they still respect the individual and didn’t discriminate them.

We must take a notes that the culture of Thailand, especially Khon Kaen citizens were different from Indonesian, but we could adopt the good cultures by them, such as appreciating differences and still preserving the cultures around us.

To sum up, Khon Kaen presents an enthralling fusion of the past, present, and future. Visitors discover a city that embraces the past while celebrating the future, whether they are touring historic temples, dining at regional restaurants, or taking part in lively festivals.(*/dho)

________________

“Mengulik Kehidupan Mahasiswa Pertukaran Khon Kaen dengan Ragam Budayanya”

Penulis : Najia Raihana Az-Zahra, mahasiswa Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Swarakaltim.com – Selamat datang di Khon Kaen, ibu kota Provinsi Khon Kaen di Wilayah Timur Laut Thailand, wilayah terbesar di Thailand yang biasa penduduk setempat sebut sebagai ‘Isaan’. Luas total Isaan mencapai lebih dari 170.000 kilometer persegi atau sekitar sepertiga dari negara Thailand.

Khon Kaen telah menjadi salah satu kota tercepat dalam pertumbuhan di Wilayah Timur Laut Thailand. Meski begitu, warga setempat masih tetap menjaga dan memelihara warisan budaya lokal mereka, seperti tradisi kuliner lokal yang dijaga dengan baik oleh khasanah kuliner Isaan yang terkenal dengan cita rasa pedas dan hidangan unik seperti larb (salad daging babi cincang pedas) dan som tam (salad pepaya) yang bahkan biasa mereka makan sebagai makanan sehari-hari.

Tidak hanya itu, Khon Kaen juga memiliki pusat hiburan, pusat perbelanjaan, dan jaringan transportasi yang baik. Keseimbangan ini menjadikannya lokasi yang diinginkan oleh wisatawan maupun warga lokal. Festival seperti Silk Festival dan Loy Krathong Festival, yang menampilkan parade warna-warni dan pertunjukan budaya yang memamerkan semangat lokal, membuat kota ini hidup. Acara-acara ini memberikan wawasan tentang adat istiadat yang bersemangat di Khon Kaen.

Dalam hal transportasi sendiri, Khon Kaen menawarkan pengalaman menarik karena penduduknya dapat menggunakan bus antar-jemput yang disediakan oleh Universitas Khon Kaen, dengan beberapa pemberhentian halte bus. Selama jaraknya masih dalam lingkup Universitas Khon Kaen, biaya transportasi gratis, yang secara tidak langsung menghemat pengeluaran mahasiswa.

Selain itu, mereka juga memiliki transportasi mobil “Van” dengan biaya 15 baht. Van ini akan membawa penumpang ke pusat kota, seperti Central Plaza, mal dengan struktur bangunan yang menyerupai keranjang nasi sebagai simbol Isaan. Jangan khawatir, ojek online seperti Grab dan Maxim juga tersedia disini, dan siap membawa penumpang ke mana saja.

Aspek unik lainnya adalah bahwa sebagian besar penduduk Khon Kaen telah melakukan metode pembayaran dengan kode QR. Hal ini membuat mereka enggan menerima pembayaran dengan uang kertas di atas 100 baht karena sulit memberikan kembalian. Maka dari itu hanya ada dua pilihan tersedia, berikan uang cash dengan nominal yang pas, atau menggunakan banking Thailand yang mendukung pembayaran dengan kode QR, karena penggunaan M-banking Indonesia seringkali gagal, kecuali pada waktu tertentu. Namun jangan khawatir, minimarket seperti Seven Eleven dan Lotus, akan tetap menerima pecahan uang di atas 100 baht.

Sebagai mahasiswa pertukaran dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman yang mengenakan hijab di KKBS Khon Kaen University, saya merasa dihormati oleh mereka. Penuh pengertian dan ramah terhadap umat muslim. Dosen dan sebagian teman bahkan memberi kami peringatan tentang makanan di sekitar, karena sebagian besar mengandung daging babi dan justru merekomendasikan tempat-tempat yang menyediakan makanan halal.

Budaya belajar-mengajar di kampus juga cukup berbeda dari Fisip Unmul. Mereka tidak memiliki waktu istirahat untuk makan selama kuliah, sebaliknya dosen hanya memberikan waktu luang kepada mahasiswa di sela-sela kelas, dan Dosen juga tidak keberatan jika mahasiswa meninggalkan kelas di tengah jalan jika mereka memang perlu. Hal ini sangat baik bagi umat muslim karena kuliah biasanya berlangsung 2 hingga 3 jam, yang sering kali tumpang tindih dengan waktu salat. Oleh karena itu, mahasiswa umat muslim dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan kelas, melaksanakan salat, dan kemudian kembali untuk melanjutkan mengikuti kelas.

Namun, sayangnya, di Khon Kaen sendiri, masih sulit menemukan musholla, terutama di KKBS yang masih belum menyediakan. Tapi jangan khawatir, Dekan KKBS menyarankan kepada mahasiswa pertukaran Fisip Unmul, jika ingin melaksanakan salat, dapat mengunjungi Fakultas HUSO (Humanity and Social Sciences) karena terdapat musholla di lantai 4. Sementara untuk umat muslim khususnya laki-laki jika ingin melakukan solat Jum’at, dapat mengunjungi Masjid Sam Liam yang terletak cukup jauh dari tempat kami tinggal, namun dengan shuttle bus, semua tetap bisa ditempuh dengan mudah. Tak hanya itu, mereka kerap menyediakan makan siang kepada jama’ah yang mengikuti salat di masjid, yang dapat anggap sepadan dengan jarak yang ditempuh.

Singkatnya, budaya di Khon Kaen, khususnya warganya, berbeda dari Indonesia. Namun, kita bisa mengadopsi nilai-nilai positif mereka, seperti menghargai perbedaan dan melestarikan budaya sekitar kita. Saling menghormati di Khon Kaen mencakup semua individu tanpa diskriminasi, menciptakan lingkungan inklusif. Kota ini juga memadukan sejarah, kini, dan masa depan dengan harmonis sambil mempertahankan warisan budaya sambil terus berkembang.(*/dho)

www.swarakaltim.com @2024