Revisi UU TNI dan Ancaman Terhadap Jurnalis Perempuan: Saatnya Kita Bersatu, Bukan Diam

SAMARINDA, Swarakaltim.com – Disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjadi titik balik yang mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi Indonesia. Di balik narasi pertahanan negara, tersembunyi ancaman nyata atas dominasi militer yang perlahan-lahan menyusupi ruang sipil, termasuk ruang kerja jurnalis, terutama jurnalis perempuan.

Dalam sistem demokrasi, militer memiliki peran yang jelas: menjaga pertahanan dan keamanan negara dari ancaman luar. Namun, dengan revisi yang memperluas peran militer ke ranah sipil, batas antara tugas pertahanan dan urusan publik menjadi kabur. Bukan hanya supremasi sipil yang terancam, tetapi juga kebebasan pers yang selama ini menjadi penopang demokrasi.

Perempuan Mahardhika Samarinda, melalui Komite Basis Jurnalis, menanggapi kekhawatiran ini dengan menyelenggarakan diskusi publik bertajuk ‘Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan’. Bertempat di Aula Kantor PWI Kaltim, acara ini menghadirkan dua narasumber utama: Titah, Koordinator Komite Basis Jurnalis, dan Noviyatul dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda.

Dalam paparannya, Titah menegaskan bahwa ancaman terhadap jurnalis perempuan bukanlah hal baru. Bahkan sebelum revisi UU disahkan, jurnalis perempuan telah mengalami bentuk kekerasan yang tidak dialami rekan laki-lakinya, mulai dari komentar seksis, pelecehan seksual, hingga intimidasi di ruang kerja dan lapangan.

“Ketika revisi ini disahkan, kekerasan yang ada menjadi berlapis. Jurnalis perempuan seperti diserang dari segala arah,” ujar Titah.

Ia mengangkat kasus Cica, jurnalis Tempo yang mendapat teror berupa kiriman kepala babi dan bangkai tikus, teror yang jelas menyasar gendernya. Ia juga menyinggung kasus pembunuhan berencana terhadap jurnalis Juwita di Banjarbaru, yang disebutnya sebagai bentuk nyata femisida.

Kekerasan serupa, lanjutnya, tidak hanya terjadi di daerah-daerah besar. Di Samarinda sendiri, terdapat kasus intimidasi terhadap jurnalis perempuan hanya karena mengangkat isu di luar agenda acara.

“Ini bukan lagi sekadar ancaman teknis kerja, tapi ancaman atas eksistensi kita sebagai perempuan di ruang publik,” ujarnya.

Noviyatul dari AJI Samarinda turut menyoroti bahwa kerentanan jurnalis perempuan ibarat fenomena gunung es.

“Yang tampak hanyalah sebagian kecil dari masalah. Di bawahnya, ada tekanan dan kekerasan struktural yang selama ini tak terlihat atau tak berani dibicarakan,” katanya.

Meski Dewan Pers telah menerbitkan pedoman standar penanganan kekerasan seksual, belum banyak perusahaan media yang mengimplementasikannya. Novi menjelaskan bahwa AJI Samarinda telah membentuk Satgas dan SOP tersendiri, namun pelaksanaannya pun penuh tantangan.

“SOP tidak akan berjalan jika tidak ada kesadaran kolektif dan dukungan struktural,” tambahnya.

Kedua narasumber sepakat bahwa solusi utama bukan hanya menunggu kebijakan berpihak, tetapi membangun solidaritas.

“Berserikat bukan pilihan, tapi keharusan. Hanya dengan bersuara bersama, kita bisa menuntut perlindungan yang layak,” tegas Novi.

Titah menutup dengan pernyataan yang menyentuh dan kuat.

“Satu suara bisa dibungkam. Tapi serikat suara, tidak mudah dipatahkan. Kita, jurnalis perempuan, harus berdiri bersama, melawan kekerasan dan patriarki di ruang redaksi dan lapangan.”

Komite Basis Jurnalis dibentuk sebagai ruang aman dan wadah perjuangan bersama. Bukan sekadar komunitas, tetapi tempat bertumbuh, saling mendukung, dan melawan sistem maskulin yang selama ini membungkam. Kini saatnya jurnalis perempuan bersatu, karena diam bukan lagi pilihan.(Dhv)

Loading

Bagikan: